Semoga Tuhan Yang Membalas

“Trima kasih ya pak, semoga Tuhan sendiri yang membalas”. Kalimat yang sederhana dan biasa kita dengar ini menjadi kalimat yang sangat istimewa bagi saya, khususnya beberapa waktu yang lalu. Kejadiannya juga sangat biasa dan sederhana. Saat itu saya pulang dan membawa rambutan rapiah, saya berhenti sejenak di halaman rumah tetangga. Ngobrol sebentar dengan bapak yang setia menjaga rumah besar itu. Sambil ngobrol kami makan buah yang berambut itu, terasa manis walaupun buahnya terlihat sudah layu.
Obrolan terus terjadi, walau hanya dalam hitungan menit. Saya mempersilahkan laki-laki berkulit sawo matang itu untuk mengambil seberapa yang ia mau, sinyal itu segera ditangkap dan diapun mengambil buah yang saya tawarkan, laki-laki bercelana pendek tanpa alas kaki itu mengambil sesuai dengan kapasitas tangannya. Ah ….. saya rasa terlalu sedikit dia mengambil, mungkin merasa tidak enak hati untuk mengambil terlalu banyak atau memang kapasitas tangan yang tidak mampu memuat banyak.
‘’Sudah ya pak, saya pulang dulu”, kata saya untuk mengakhiri perjumpaan itu. Sambil menghidupkan motor saya mendengar dengan jelas, bapak dua anak itu mengucapkan “Terima kasih ya pak pendeta, semoga Tuhan sendiri yang membalas”. Kalimat ini terus membayang dan menari dalam benak pikiran saya. Begitu membayang karena saat itu sedang memikirkan teks kitab Roma yang menjadi tema natal PGI- KWI tahun 2008.
Teks Roma 12 : 18 – 19 itu berbunyi : “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang. Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan”.
Mari kita lihat bagian pertama tentang dialog saya dengan pekerja tetangga rumah. Satu hal yang seharusnya memang kita ucapkan setiap kali kita menerima kebaikan dari orang lain. Kita mengucapkan terima kasih dan mendoakan supaya kebaikan serta berkat dari Tuhan ada pada orang yang sudah menunjukkan kebaikan. Disamping kita mendoakan, kita juga memiliki tanggung jawab untuk berusaha membalas kebaikan itu dengan tindakan kehidupan kita.
Sampai pada bahasan ini semuanya baik dan tidak ada persoalan. Namun ketika membaca teks Roma dan melihat kehidupan sekitar, kita bisa melihat ada perbedaan. Bayangkan kalau kita menerima perbuatan baik dari orang lain dan sepantasnya kita mengucapkan : “Terima kasih dan semoga Tuhan sendiri yang membalas”. Namun apa yang akan kita ucapkan kalau kita menerima tindakan yang tidak baik orang lain, apakah kita sambil tersenyum dan mengucapkan : “Terima kasih dan semoga Tuhan sendiri yang membalas”. Ha…. ha….. sepertinya jawabannya tidak begitu. Mungkin yang akan kita ucapkan : “Tuhan, jangan ikut campur dulu, ini urusanku, biar aku yang bereskan dan balas dulu. Nanti kalau aku sudah selesai, Tuhan bisa melaksanakan hakMu untuk pembalasan”. Ah.. jangan-jangan saya yang terlalu berlebihan atau malah terlalu sederhana dibanding dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Teks Roma mengajarkan kepada kita supaya berusaha menjaga perdamaian dengan semua orang. Sangat mudah bagi kita kalau hidup berdamai dengan orang-orang yang bisa mengimbangi kebaikan kita dan semakin mudah bagi kita berdamai dengan orang-orang baik dan mendukung kita. Tapi menjadi sulit bagi kita untuk berdamai dengan mereka yang membeci dan melakukan tindakan yang tidak baik kepada kita.
Dalam kondisi yang kedua ini, kita diberikan nasehat melalui firman Tuhan. Cara kita berdamai dengan orang yang melakukan tindakan yang tidak baik kepada kita adalah dengan cara mengakui adanya kemarahan dalam kehidupan kita dan mengakui adanya keinginan untuk membalas perbuatan yang tidak baik. Setelah kita mengakui semuanya itu, kemudian sadarilah bahwa semua itu adalah hak Tuhan dan bukan wewenang kita. Kirimkanlah itu semua kepada Tuhan yang memiliki hak dalam pembalasan. Setelah semuanya itu terjadi katakanlah dalam senyuman : “Terima kasih, semoga Tuhan sendiri yang membalas”.
Jadi sebenarnya hubungan antara peristiwa rambutan dan tindakan jahat yang dikenakan kepada kita adalah persoalan salah menempatkan kata dan kalimat. Saat orang mengenakan tindakan yang tidak baik pada kita, pakailah kalimat : “Terima kasih, semoga Tuhan yang membalas”. Tuhan memberkati.
Oleh: Pendeta Sundoyo
GKJ Brayat Kinasih
Sikap dan Perilaku Kekristenan
Artikel ini mengupas tentang Sikap dan Perilaku Kekristenan Sehari-hari yang disampaikan oleh Bp Setyanto sebagai bahan Penelaahan Alkitab (PA) Adiyuswo, pada 30 Juni 2017.
PA-ADIYUSWA-30-6-2017.pdf
Belajar Berterimakasih

Cerita di suatu pagi
‘Balapan….. siapakah yang lebih pagi, saya atau Harian Jogja”, selalu ini yang dipikirkan oleh bapak tiga anak itu setiap pagi. Apakah ia lebih dulu bangun atau Harian Jogja yang lebih dulu datang ke rumah. Seberapapun paginya dia bangun ada yang pasti lebih dulu terbangun dari siapapun di rumah itu.
Perempuan berwajah cantik yang selalu minder karena ukuran tubuhnya yang menjadi ‘baterai’ energi keluarga setiap pagi. Ketika semua masih berselimut mimpi, ia sudah mengenakan celemek di dapur, bahkan sering kali ia harus mondar mandir dari dapur ke kamar anak-anak untuk memastikan bahwa mereka tidak terlambat sekolah hari ini.
Sambil memasak, ibu berambut ikal itu selalu menyiapkan kopi manis untuk sang suami tercinta. “Kopi pak”, inilah penggalan kalimat yang selalu meluncur dari bibir yang jarang berlipstik itu. Suasana sepi…tidak ada kata yang merambat dari sang suami, hanya diam dan mematung. Laki laki tambun itu lebih tertarik membuka lembar-lembar Harian Jogja yang berisi iklan penjualan tanah dan mobil. Pernah juga ada kalimat dari sang suami. “kopi apa ini, kurang manis…”, sambil menyodorkan gelas panas itu ke arah perempuan yang agak tertunduk.
Inilah kira-kira kejadian setiap pagi. Istri menyiapkan makanan dan minuman untuk suami yang sedang santai, ritual persembahan kasih dari istri kepada suami yang ditanggapi dingin. Tidak ada kata terimakasih bagi persembahan kasih itu.
Kejadian lain yang menggambarkan sulitnya mengucapkan terimakasih dialami oleh ibu tiga anak itu. Anak-anak dibangunkan setiap pagi, memastikan semuanya tidak telambat ke sekolah dan sudah makan sebelum berangkat. Tidak ada ucapan terimakasih, malah sepertinya semua orang di rumah sepakat kalau perempuan yang dipanggil ibu inilah yang paling bawel di rumah. “Ah… ibu memang cerewet”, kata anak laki-lakinya yang kedua.
Cerita ‘Sang Juru’
Rombongan ‘Sang Juru’ dikejutkan oleh teriakan dari kejahuan, teriakan yang berasal dari beberapa orang yang diasingkan dari masyarakat. Mereka adalah orang-orang berpenyakit kusta, mereka dibuang dari komunitas dan tinggal di luar desa. “Tolong kami, sembuhkanlah kami”, mereka berteriak dengan yakin akan mendapatkan pertolongan dari ‘Sang Juru’ yang memang biasa menyembuhkan orang sakit. Dengan tetap mengambil posisi yang saling berjauhan, ‘Sang Juru’ memerintahkan mereka supaya menunjukkan diri pada para ‘Tetua Agama’ yang berhak memutuskan apakah mereka sembuh atau tidak.
Mendengar perintah itu, sepuluh orang kusta itu pergi menuju pemukiman dan berencana menunjukkan diri pada ‘Tetua Agama’, dalam perjalanan ke arah desa itu mereka merasakan perubahan dan mata mereka melihat kalau tubuh mereka sudah sembuh. ‘Hai lihat, kita sudah sembuh’, kata seorang sambil melompat kecil. Mereka terus melanjutkan perjalanan ke arah desa kecuali ada satu yang memutar arah jalannya.
Ia berlari menuju ‘Sang Juru’, sesampainya di depan ‘Sang Juru’ laki-laki setengah baya itu langsung tersungkur sambil menangis di sudut kasut kotor ‘Sang Juru’. “Terimakasih ‘Sang Juru’ aku sudah menerima kemurahanMu, aku sembuh sekarang”, katanya sambil menyeka air matanya. “Bukankan semuanya sembuh, dimanakah mereka yang lain. kenapa hanya kamu yang datang”, sabda ‘Sang Juru’ sambil mengangkat tangan laki-laki itu untuk bisa berdiri didepanNya.
‘Sang Juru’ menatap dalam mata laki-laki berkulit kusut itu, sabdaNya : “Kamu bukan orang sebangsaku, kamu mau kembali ke sini untuk mengucapkan terimakasih. Dimanakah saudara-saudara sebangsaku yang sembilan tadi, kenapa mereka tidak datang kemari untuk mengucapkan terimakasih”. ‘Sang Juru’ melanjutkan sabdaNya : “Aku memberkati kamu, pergilah dalam damai sejahtera”, sambil menopangkan tangan di atas rambut gimbal karena sudah lama tidak dicuci. Kemudian laki-laki itu pulang ke keluarganya dengan bibir tersenyum dan hati yang damai.
Kenapa sulit berterimakasih
Setelah memperhatikan cerita ibu yang melayani keluarga dan ‘Sang Juru’ yang menyembuhkan sepuluh orang kusta. Kita akan mencari tahu dimanakah sulitnya orang mengucapkan terimakasih atau ucap syukur atas apa yang terjadi dalam kehidupannya. Setelah dilihat-lihat, dirasa-rasa kita akan ketemu tiga hal yang membuat orang sulit mengucapkan terimakasih, yaitu :
a. Merasa memiliki hak
Inilah persoalan pertama yang membuat orang sulit untuk mengucapkan terimakasih. Bapak yang dibuatkan kopi oleh istrinya tidak perlu mengucapkan terimakasih karena ia merasa punya hak untuk dilayani, dibuatkan kopi setiap pagi. Dilayani tiap pagi itu sudah wajar dan memang seharusnya begitu jadi ya tidak perlu berterimakasih, kalau tidak dibuatkan lha ini baru masalah. Anak-anak juga merasa punya hal untuk dibangunkan, disiapkan sarapan, mereka tidak perlu mengucapkan terimakasih. Dari cerita lain, sembilan orang kusta itu tidak berterimakasih karena merasa bahwa ‘Sang Juru’ itu satu bangsa dengan dia, mereka juga merasa berhak mendapatkan berkah kesembuhan itu.
b. Melihat pemberian menjadi lupa pada pemberi
Mari kita mengandaikan menjadi salah satu dari sembilan orang yang sakit kusta. Kita diusir dari masyarakat dan harus tinggal sendiri di tempat pengasingan, kita terpisah dari suami atau istri, anak dan saudara. Kemudian kita mendapatkan berkat kesembuhan, kita diminta menunjukkan diri kepada para ‘Tetua Agama’ kemudian mereka mengatakan kita sembuh, boleh bergabung dan kumpul lagi dengan keluarga serta masyarakat.
Alangkah senangnya hati kita diterima sebagai manusia yang utuh dan tentu rasa kangen yang mendalam terhadap suami atau istri, anak dan saudara sudah tidak tertahan. Kita segera pulang ke rumah, membersihkan diri dan berdandan sebaik mungkin, mengundang sanak saudara dan mengadakan pesta. Temu kangen dengan keluarga dan tetangga, terlelap dalam pesta menjadikan kita lupa pada tokoh yang sudah memberikan kesembuhan.
Mungkin pembaca ada yang berkata :”Ha… kita, elu kali?”. Inilah kenyataan, saat kita terlalu hanyut pada pemberian, kita menjadi lupa kepada siapa yang memberi. Kita terhanyut pada kesenangan dan kesuksesan membuat lupa pada Tuhan dan banyak orang yang andil dalam membantu terwujudkan kesuksesan kita.
c. Kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan
Seorang suami menjadi lebih sulit berterimakasih pada istrinya saat dibuatkan kopi karena ternyata kopi itu terlalu pahit bagi lidahnya. Anak-anak akan sulit berterimakasih kalau ternyata mereka terlambat bangun karena ibu terlambat membangunkan. Yang ada adalah kemarahan bukan berterimakasih. Sulit rasanya melihat bahwa ada ibu yang bersedia membangunkan setiap pagi adalah peristiwa yang perlu disyukuri dan pantas disampaikan ucapan terimakasih.
Berterimakasih itu mudah
Kalau kita mengalami kesulitan untuk mengucapkan terimakasih atau sulit bersyukur pada Tuhan untuk apa yang sudah kita rasakan maka kita perlu mencari sebab kenapa kita sulit melakukannya. Kalau itu disebabkan karena kita merasa punya hak mendapatkan pelayanan dan kasih Tuhan maka yang perlu kita ingat bahwa sesungguhnya kita tidak layak mendapatkan itu semua. Kalau kita sulit mensyukuri kesehatan kita karena kita merasa layak hidup sehat karena cukup gizi dan berolahraga, ingatlah sekali lagi bahwa sesungguhnya kita tidak punya hak apa-apa atas kesehatan kita. Jadi kalau kita sehat maka sampaikanlah terimakasih kepada Tuhan.
Disamping hal diatas, kalau kita terlalu fokus pada keberhasilan pekerjaan kita kemudian menjadi lupa kepada Tuhan yang memberikan pekerjaan atau keluarga (baca : istri) yang mendukung keberhasilah itu maka berhati-hatilah karena sudah ada bahaya besar yang mengancam. Perlu selalu menjaga kesadaran, dalam setiap kebahagiaan ada Tuhan dibalik semuanya dan ada orang-orang yang dipakaiNya untuk mewujudkan itu dan sampaikanlah terimakasih kepada Tuhan dan mereka.
Seandainya kita sulit berterimakasih atau bersyukur pada Tuhan karena kita merasa kenyataan hidup begitu buruk dan tidak pantas untuk disyukuri maka yang dibutuhkan adalah merubah cara pandang kita atas kenyataan hidup yang terjadi. Kalau kita akan marah saat kita hampir terlambat ke sekolah karena ibu terlambat membangunkan maka bersyukurlah karena kita masih punya ibu yang membangunkan kita. Sebelum kita mengeluh dengan beban pekerjaan kita yang berat, bersyukurlah bahwa itu artinya kita masih punya pekerjaan dan coba bayangkan banyak orang yang dirumahkan dan banyak orang yang sulit mencari pekerjaan.
Ungkapan terimakasih bisa dinyatakan dengan kata-kata. Disamping itu juga disertai dengan tindakan nyata untuk menjagai serta bertanggungjawab atas apa yang diberikan kepada kita. Seorang suami yang dilayani istri hendaklah belajar melayani istrinya dengan baik juga dan saling menjaga kepercayaan satu dengan yang lain. kalau kita seorang mahasiswa yang dipercaya orang tua menuntut ilmu di kota lain, berterimakasihlah pada mereka dengan menjadi mahasiswa yang benar dan berprestasi. Kalau kita adalah pemimpin bangsa, menjadi penguasa karena dipercaya oleh rakyat maka berterimakasihlah pada mereka serta ingatlah mereka dalam setiap perjuangan kita.
Berterimakasih itu mudah……… belajarlah.
Oleh: Pendeta Sundoyo
GKJ Brayat Kinasih
Visitor Stats
Users Today : 118
Users This Month : 4542
Total Users : 54829
Views Today : 118
