Home » Artikel » Kisah Seorang Santri Belajar Teologi Di Kampus Kristen

Kisah Seorang Santri Belajar Teologi Di Kampus Kristen

GKJBrayatKinasih, Yogyakarta – Beberapa waktu lalu, program Renungan Tengah Minggu (RTM) mengundang tamu istimewa, seorang pemuda muslim asal Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang tengah menempuh studi lanjutan di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Tentu sebuah momen yang amat langka, ketika seorang pemuda muslim berkenan hadir di sebuah acara kerohanian Kristen, yang diselenggarakan di gedung gereja, dan disiarkan secara live di media sosial, youtube. Kak Ahmad Shalahuddin Mansur, nama pemuda istimewa itu, bercerita banyak tentang bagaimana bersikap ramah kepada sesama tanpa memandang sekat SARA. Sungguh luar biasa!. Penasaran siapa sih kak Ahmad? Nah berikut ini adalah penuturan Kak Ahmad tentang siapa dirinya, latar belakang keluarga, budaya, dan tentu apa alasannya mempelajari Ilmu Kekristenan.

Perjalanan Merengkuh Sang Liyan: Kisah Seorang Santri Belajar Teologi Di Kampus Kristen

Oleh: Ahmad Shalahuddin Mansur*

Sayangilah yang ada di bumi. Niscaya yang ada di langit akan menyayangimu.
(Nabi Muhammad SAW)

Terlahir dari sepasang orang tua yang beragama Islam serta tumbuh dan besar di lingkungan yang homogen Islam di Parepare, Sulawesi Selatan. Saya bertumbuh seperti layaknya muslim pada umumnya dengan truth claim bahwa agama saya paling benar. Pada saat yang sama menegasikan komunitas yang berbeda, khususnya berbeda agama. Klaim bahwa Islam yang paling benar dan di luar Islam salah dan otomatis salah dan masuk neraka
menjadi awal pemikiran saya waktu itu.

Saya tumbuh dengan didikan agama yang cukup kuat. Bapak saya seorang anggota persyarikatan Muhammadiyah. Bapak adalah orang ketat terhadap Islam yang dianutnya dan mengajarkan kepada anak-anaknya. Saya masih teringat ketika dilarang menghadiri pesta ulang tahun teman SD saya waktu itu yang notabene bertetangga dengan keluarga kami. “Kamu tidak boleh hadir, ini pesta orang kafir”. Demikian kurang lebih kalimat yang masih
terngiang di ingatan saya.

Di samping itu, sependek saya melacak garis keluarga dari bapak dan ibu, saya tidak menemukan anggota keluarga yang tidak beragama Islam. Selain mungkin sulit menemukan suku Bugis yang tidak beragama Islam—selain dominasi Islam sejak lama karena Sulawesi Selatan berdiri banyak kerajaan Islam sejak dulu.

Saya memulai studi di sekolah negeri dari SD hingga SMA. Selama menempuh pendidikan, saya punya beberapa teman berbeda keyakinan sejak SD hingga SMA, tapi masa itu kami berteman seperti umumnya anak-anak berteman—tanpa pernah membahas agama. Meski di dalam kepala kami, truth claim (saya benar dan orang lain sudah mesti salah) itu tetap bercokol kuat.

Selepas SMA, saya memutuskan untuk kuliah di luar tanah kelahiran pada 2012 lalu. Semenjak kuliah, saya menemukan hal berbeda dari daerah tempat saya berasal yang homogen, sebagian besar beragama Islam. Sebaliknya, di Yogyakarta—saya berada di lingkungan yang heterogen. Di kompleks saya ngontrak rumah, setengah dari tetangga sekitar saya beragama non-Islam, praktis berbeda dengan keyakinan saya. Beberapa pendopo bahkan sering digunakan untuk kebaktian.

Hijrah Pemikiran

Di Yogyakarta, saya memilih Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dengan konsentrasi Tafsir Hadis (hari ini berganti nama Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir)—dengan animo tinggi untuk belajar agama Islam. Di UIN, saya menemukan komunitas yang homogen pula, dari dosen hingga mahasiswa—semuanya beragama Islam. Saya merasa tidak puas dan berkeinginan memiliki banyak teman di tanah rantau ini.

Di awal tahun berada di Yogyakarta—sekitar tahun 2013, saya mengelola komunitas Gusdurian Yogyakarta dan pada saat sama yang juga mempelajari gagasan, ide serta nilai-nilai dari seorang KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Nilai-nilai Gus Dur yang dihidupi serta diperjuangkan oleh para Gusdurian diantaranya adalah ketauhidan, kemanusiaan, persaudaraan, kesetaraan, keadilan, kearifan tradisi dan masih banyak lagi. Dari komunitas inilah saya mulai belajar membangun dialog ke beberapa komunitas yang berbeda, khususnya berbeda agama atau menjalin hubungan lintas iman.

Selanjutnya, pada tahun 2014—saya bergabung dengan komunitas Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia. Berangkat dari komunitas ini, saya mulai mengambil peran dan berkomitmen untuk membangun dialog antara kaum muda, khususnya yang beragama Islam dan Kristiani. Melihat kondisi Indonesia saat ini, kedua agama Abraham ini kerap kali dihadap-hadapkan dalam konflik horizontal, terlebih ketika eskalasi politik meningkat.

Dengan mengambil poin utama dari dokumen A Common Word (ACW), YIPC merumuskan visi yakni “membangun generasi damai yang mengasihi Allah dan mengasihi sesama”. Lalu dirumuskan mission statement yakni “Building Peace Generation Through Young Peacemakers”. Visi dan misi tersebut dimanifestasikan ke dalam program setiap sekali tiap semester, yakni menghelat Student Interfaith Peace Camp (SIPC)—sebuah wahana ruang perjumpaan antara mahasiswa/i untuk berdialog lintas iman secara langsung.

Dalam SIPC, komunitas YIPC menggalakkan pendidikan perdamaian (peace education) di kalangan mahasiswa/i untuk menghasilkan agen-agen perdamaian yang berjiwa muda dengan misi melakukan transformasi di tataran kampus dan masyarakat. Selain itu, menjadi agen untuk menginisiasi dialog lintas iman. Dialog yang dibangun merupakan dialog lintas iman (interfaith) berdasar atas nilai-nilai perdamaian (peace values). Dalam komunitas YIPC, dialog lintas iman selalu diiringi dengan nilai-nilai perdamaian. Nilai-nilai perdamaian tersebut diadopsi dari Peace Generation Bandung, kemudian digunakan oleh komunitas YIPC untuk generasi muda, khususnya kalangan mahasiswa/i dan diajarkan dalam SIPC yang berlangsung 3 hari dan 2 malam.

Lebih lanjut, komunitas YIPC kemudian merumuskan ulang dengan beberapa tambahan nilai perdamaian, yang pada awalnya dari nilai tentang berdamai dengan diri sendiri, mengatasi prasangka, merayakan keberagaman, rekonsiliasi konflik hingga meminta dan memberi maaf serta dialog hati. Selain itu, ditambahkan lagi nilai berdamai dengan Allah dan berdamai dengan lingkungan.

Selain menghelat SIPC di tiap semesternya, komunitas YIPC juga menghelat beberapa agenda, diantara adalah Scriptural Reasoning (SR), yakni membaca kitab suci lintas iman, dalam hal ini, Islam dan Kristiani—Al-Qur’an dan Alkitab bersama-sama. Selain itu, berdialog dengan komunitas agama lain di luar Islam dan Kristiani, bedah buku, bedah film serta berkunjung ke rumah ibadah di luar Islam dan Kristiani.

Bermula dari komunitas Gusdurian dan komunitas YIPC, saya kemudian membangun jembatan dialog ke beberapa komunitas kaum muda lintas iman dan lintas isu. Membangun koneksi satu sama lain dan mencoba melampaui perbedaan-perbedaan untuk kemudian merespon isu kemanusiaan serta isu-isu aktual bangsa ini.

Melihat situasi saat ini, bergerak bersama merupakan kunci untuk membangun perubahan di masyarakat. Membangun dialog di kalangan kaum muda menjadi hal perlu dilakukan—mengingat di tangan kaum muda kelak bangsa ini dipertaruhkan. Membangun generasi damai yang lebih humanis untuk membangun peradaban bangsa Indonesia ke depan. Dari sini pengalaman berjumpa banyak komunitas beragama akhirnya membuatku tertarik untuk mendalami dan belajar tentang agama serta tradisi di luar Islam.

Hijrah Dari Kampus Islam Ke Kampus Kristen Dari YIPC, saya mendapat banyak pengalaman berdialog teologis dengan teman-teman Kristiani yang menyenangkan dan membuat saya semakin bersemangat untuk terus menggali
lebih dalam Islam itu sendiri—keyakinan saya. Di satu pihak, ada beberapa hal yang mungkin di masa kecil belajar tentang Islam saya kurang mendalam—kemudian saya mendalami lagi, khususnya ketika sedang berdialog dengan teman-teman berbeda keyakinan.

Selepas menyelesaikan kuliah di UIN Sunan Kalijaga, saya memutuskan untuk melanjutkan studi di fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta—meski saya juga sempat bertemu dengan pihak fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Saya diliputi rasa penasaran untuk belajar langsung di salah satu dari kampus tersebut.

Alasannya sederhana, selain belajar langsung pada sumber primer—saya teringat kelakar seorang guru saya yang saat ini menjadi Guru Besar (pertama yang beragama Islam) di fakultas Teologi Universitas Notre Dame, Amerika Serikat. Waktu itu beliau menjadi pembicara pada diskusi di salah satu agenda “School of Interfaith Dialogue” yang diadakan oleh YIPC, waktu itu beliau seolah menantang kami (mahasiswa muslim) untuk belajar atau bersekolah langsung di kampus Kristen dan menjadi ahli tentang kekristenan, karena saat ini—ada banyak orang Kristen yang menempuh sekolah di kampus dan menjadi ahli di bidang Islamologi, sedangkan sebaliknya tidak. Menurut beliau, belum ada seorang sarjana muslim yang bisa menjadi bahan rujukan ketika berbicara tentang kekristenan secara
akademik—bukan secara serampangan seperti Zakir Naik yang hari ini memenuhi kanal YouTube!

Dari sana, saya tertantang untuk mencoba melamar untuk bersekolah di fakultas Teologi di kampus UKDW atau USD. Selain itu, saya ingin benar-benar ingin belajar pada sumber yang otoritatif—penganutnya langsung, meski kajian di kampus suasananya akademik.

Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh dalam keluarga muslim, keputusan saya untuk bersekolah di kampus Kristen yang bermula dari kampus Islam menuai banyak penolakan, dari keluarga besar bapak dan ibu, hingga ibu sendiri (berhubungan bapak sudah menghadap-Nya sejak 2001 lalu). Handphone saya dihujani banyak pertanyaan dari keluarga, meski saya hanya perlu meyakinkan ibu bahwa tidak masalah bersekolah di kampus Kristen.

Setelah saya runut dari seluruh keberatan anggota keluarga, ketakutan terbesar mereka mengerucut pada kekhawatiran saya berpindah keyakinan—termasuk ibu. Saya merasa itu hal wajar ketika saya dibesarkan setengah mati dengan tradisi Islam lalu saya berpindah, itu mungkin akan menyakiti hati seluruh keluarga besar, termasuk hati ibu saya. Saat ini, saya hanya fokus pada ibu seorang dan tidak terlalu memperdulikan keluarga besar lainnya—termasuk keluarga dari almarhum bapak yang notabene sebagai pengurus Muhammadiyah di Makassar yang hingga saat ini saya dengar masih belum menerima keputusan saya.

Tapi biarlah, saat ini yang terpenting adalah meyakinan ibu saya bahwa saya bisa menjaga kepercayaannya. Beberapa keheranan atau mungkin nada penolakan datang dari beberapa rekan kuliah di UIN, kekhawatiran mereka juga tak jauh berbeda dengan kekhawatiran dari keluarga besar saya—hanya perihal “pindah agama”.

Bagi saya, sekolah di kampus Kristen dan pindah agama menjadi Kristen adalah dua hal yang sama sekali berbeda—alasan ini juga yang saya gunakan sebagai senjata pamungkas untuk meyakinakan ibu saya. Jika seseorang ingin pindah agama, tidak perlu kuliah di kampus Kristen seperti saya. Syukurnya ibu saya perlahan melunak hingga akhirnya mengatakan pernyataan andalannya sejak awal saya merantau ke Jogja—”silahkan, nak. kamu yang akan kuliah, kamu yang akan menjalani hidupmu”.

Setelah beroleh restu ibu, saya juga memohon restu kyai saya di UIN—dan “Alhamdulillah”, beliau tidak berkeberatan, malah sangat mendukung saya untuk melanjutkan studi di UKDW. Berbekal restu tersebut, saya merasa dukungan itu cukup untuk meyakinkan saya untuk  melanjutkan studi di fakultas Teologi UKDW—meski harus melalui masa matrikulasi selama bertahun-tahun. Bismillah!

Setahun lebih menjalani matrikulasi di fakultas Teologi, saya sama sekali tidak pernah merasakan diperlakukan berbeda di sana. Saya benar-benar merasa seperti di rumah sendiri alias feels like home ketika setahun belakangan ini lalu-lalang belajar di sana dan menjadi muslim satu-satunya di kelas. Bahkan pada waktu masuk waktu shalat pun, ada banyak yang menjadi pengingat di sana serta tempat untuk menunaikan shalat yang bisa saya lakukan
dengan leluasa.

Dengan perlakuan yang saya terima, mengajarkan banyak hal—tentang penghargaan, tentang keramah-tamahan hingga rasa kekeluargaan yang begitu hangat saya berada di sana. Sebuah Pelajaran Tentang ‘Menemukan Diri Sendiri’ Sebagai seorang yang berangkat dari tradisi muslim, saya dulu agak anti dengan sesuatu yang berbau tidak senada dengan agama saya, seperti melihat salib atau acara pelayanan doa yang tayang setiap hari minggu siang pada waktu itu di kanal RCTI.

Saya masih mengingat kondisi saya waktu itu. Pokoknya semua yang tidak berbau Islam, NO! Saya juga hidup dengan stereotyping tentang Kristen yang menyembah tiga Tuhan, kitab sucinya dipalsukan, semua orang Kristen pemakan babi, Kristen tidak menyukai orang Islam hingga ditarik ke Yahudi sebagai biang kerok segala persoalan yang ada di muka bumi dan masih banyak lagi pikiran buruk atau prasangka yang saya miliki pada waktu itu—sebelum saya hijrah ke Yogyakarta.

Yogyakarta menjadi tempat kelahiran kedua bagi saya. Bagi perantau yang menemukan banyak hal di Yogyakarta serta mengubah paradigma berpikir tentang banyak hal, khususnya memandang yang lain atau berbeda dengan saya. Semua prasangka saya tentang banyak hal mulai luruh satu per satu seiring pengalaman saya menjalin hubungan dengan banyak orang di Yogyakarta.

Saya teringat apa yang pernah dikatakan oleh Sri Krishna –”kamu adalah aku dalam tubuh yang lain”. Selama ini, apa yang saya prasangkakan ke orang lain—dalam hal ini adalah keyakinan yang berbeda dari yang saya anut ternyata tidak sekadar melukai orang lain itu, namun juga melukai diri saya sendiri.

Hingga pada suatu saat, saya teringat dawuh kanjeng Nabi Muhammad SAW, “tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri”. Pada riwayat ini, Nabi Muhammad SAW meletakkan fondasi beriman adalah bagaimana memperlakukan orang lain—ciptaan Tuhan yang lain yang berbeda dengan kita. Selain itu, saya juga selalu terngiang apa yang dikatakan Gus Dur, “menyakiti manusia—yang notabene ciptaan Tuhan, sama artinya menyakiti Tuhan—Sang Pencipta. Memuliakan manusia, sama halnya memuliakan Sang Pencipta”.

Hingga saat ini, saya tidak punya alasan untuk memandang manusia lainnya dengan prasangka buruk. Justru ketika semakin banyak belajar dari banyak tradisi agama dan spiritual di luar Islam, saya justru semakin diperkaya dengan semua tradisi itu. Iman atau akidah saya tidak rusak—sebagaimana yang selama ini saya dikhawatirkan. Justru sebaliknya, Islam saya semakin tumbuh dengan subur. Semakin hari—saya semakin merefleksikan bahwa beribadah kepada-Nya adalah dengan cara memuliakan ciptaan-ciptaan-Nya. “Di hidup yang singkat ini”, kata Jalaluddin Rumi, “jangan tanam apapun kecuali cinta”.

 

Yogyakarta, 9 Muharram 1442H/28 Agustus 2020M

*Penulis adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Saat ini adalah mahasiswa Pascasarjana fak. Teologi UKDW Yogyakarta.
Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia.