Home » Warta Terkini » Gereja Jangan Memelihara Keheningan

Gereja Jangan Memelihara Keheningan

( Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty saat memaparkan materinya. Foto: pgi.or.id )

GKJBrayatKinasih, Jakarta-Gereja jangan memelihara keheningan terhadap berbagai tindak kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Gereja Justru harus memecah keheningan tersebut, dengan tidak diam karena gereja memegang mandat keadilan, harapan, cinta dan shalom Allah.

 

Hal tersebut ditegaskan Sekretaris Umum PGI periode 2019-2024 Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty dalam diskusi bertajuk Peran Perempuan Gereja Mengahiri Kekerasan, di Kantor PGIW DKI Jakarta, Selasa (10/12/2019). Kegiatan yang digagas oleh Biro Perempuan dan Anak (BPA) PGI bersama Komisi Perempuan PGIW DKI Jakarta ini, merupakan puncak dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP).

 

“Tanggungjawab gereja harus dilakukan karena seringkali gereja diam, atau menjadi tempat penjaga moral tetapi ironisnya gereja diam untuk bertindak, bahkan pastoral gereja menegaskan impunitas, dengan mengatakan sabarlah karena penderitaan yang anda pikul juga penderitaan Kristus. Kita harus berani bicara dan gereja harus mulai dari dirinya, karena kekerasan terhadap peremuan juga banyak terjadi dalam gereja,” tegas Pdt. Jacky, panggilan akrabnya.

 

Menurutnya, meski kampanye anti kekerasan terhadap perempuan terus digaungkan, namun kasusnya justru semakin meningkat. Kekerasan terhadap perempuan menjadi langgeng karena meski mengalami kekerasan tetapi tetap menunjukkan kasih, menerima karena sebagai tanda kepatuhan, dan tidak berani bicara karena dianggap aib bagi keluarga.  Selain itu, perempuan sangat kuat menyimpan beban kesakitan dalam dirinya.

 

“Ajaran untuk kepatuhan tetap harus dilihat secara kritis. Jangan kepatuhan berdasarkan tafsir seringkali menjadi berhala bagi perempuan sehingga menerima segala perlakuan terhadapnya. Memang tidak mudah untuk berani bicara. Perlu pendekatan atau proses berlapis. Akan efektif jika korban berani melepaskan beban dengan berani bicara,” jelasnya.

Kampanye HAKtP

Kepala Biro Perempuan dan Anak (BPA) PGI Pdt. Repelita Tambunan kembali mengingatkan pentingnya Kampanye 16 HAKtP. Dan, melalui kegiatan ini diharapkan perempuan gereja bergandengtangan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang selalu kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Menjawab pertanyaan peserta terkait upaya yang sudah dilakukan PGI, Pdt. Repelita Tambunan menegaskan, selain pelatihan, PGI juga melakukan advokasi, dan sosialisasi terhadap berbagai persoalan, termasuk kekerasan terhadap perempuan. Hasil dari upaya tersebut, beberapa gereja seperti GKS, GBKP, GKPS, GKP dan GMIT telah membentuk Woman Crisis Centre (WCC). Keberadaan lembaga ini sangat penting agar persoalan kekerasan terhadap perempuan dapat tertangani secara profesional.

 

“Kenapa kami berjuang untuk menyarankan ini, karena kalau itu bukan keahlian pendetanya berikanlah kepada yang profesional. Ini penting supaya menjadi terstruktur. Jika perlu penanganan medis kita bisa rujuk ke bagian medis yang tau masalah ini,” jelasnya.

Peran Gereja

Sehari sebelumnya, BPA PGI, PERUATI Jabotabek, Germasa GPIB, dan STT IKAT melaksanakan diskusi dalam rangka Kampanye 16 HAKtP, di GPIB Immanuel, Jakarta, Senin (9/12).

 

Dalam diskusi tersebut, Pdt. Sylvana Apituley menegaskan, terkait kasus kekerasan terhadap perempuan, gereja punya peran penting dalam hal pemenuhan hak atas pemulihan, lewat pelayanan pastoral konseling, dan memahami dengan baik faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya kekeraan seksual.

 

“Tidak hanya karena kemiskinan, ketertinggalan, keterasingan, tetapi ada juga nilai dan norma-norma yang dianggap melegitimasi bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan dianggap wajar saja. Nilai-nilai itu baik bicara selalu langsung tentang perempuan atau bicara siapa perempuan dalam kehidupan keluarga dan gereja. Misalnya teks hai istri-istri tunduklah kepada suami, apa yang dipersatukan Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia. Perlu pemahaman teks dengan baru,” ujarnya.

 

Diskusi yang dihadiri aktivis, pendeta dan mahasiswa ini, juga menyajikan testimoni dari seorang penyintas sekaligus korban kekerasan dalam keluarga, Imelda Purba. Pada kesempatan itu, Imelda menceritakan apa yang dialaminya pada 2014. Upaya pun dilakukan dengan melapor ke kepolisian serta KPAI. Apa yang dilakukan Imelda mendapat apresiasi dari Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah. Menurutnya memang tidak banyak korban yang berani melaporkan apa yang dialaminya. Bahkan banyak yang tidak sensitif terhadap korban.

 

Sebab itu, lanjut Yuniyanti, Komnas Perempuan terus melakukan upaya dalam rangka penanganan dan pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan. Upaya yang dilakukan seperti, pelibatan lembaga agama, pelibatan publik, mendorong lembaga strategis untuk melembagakan kebijakan, memperkuat bersinergi, mengawal kebijakan sistematis dengan lembaga Negara dan berbagai pihak.

 

Jika kekerasan terhadap perempuan tidak ditangani, menurut Yuniyanti akan merusak tidak hanya korban, tetapi juga pelaku, menurunkan produktifiitas, hilang ingatan, nyawa, dan rasa aman.

 

Komnas Perempuan merekomendasikan agar gereja menghentikan budaya menyingkirkan dan menyudutkan korban, , membentuk lembaga layanan, membuat data bersama, mencegah impunitas, dan mendukung RUU PKS. (Sumber: pgi.or.id)