GKJBrayatKinasih, Waingapu- Sidang Raya PGI tahun ini adalah pesta rakyat dan pesta iman warga Sumba. Mereka mempersiapkan dan melaksanakan pesta itu dengan segenap hati. Berikut Catatan Sidang Raya PGI XVII 2019 bagian kedua (2) yang ditulis langsung oleh Pendeta Sundoyo.
Hari kedua di Waingapu, saya bangun jam 6 pagi tetapi tubuh dan mata masih terasa jam 5 pagi di Yogya. Tubuh saya masih menggunakan mekanisme WIB belum menyesuaikan diri dengan terbitnya matahari di daerah Airnya Apu ( kata Wai artinya Air dan Ngapu artinya milik Apu), kira-kira itu yang bisa saya tangkap dari Pak Guru yang di rumahnya saya tinggal. Setelah siap diri dan sarapan pagi dengan menu yang mengingatkan Yogya, kerena nyonya rumah aslinya Minomartani. Kami berangkat ke gereja untuk memulai hari pertama persidangan.
Datang di lokasi persidangan langsung disambut dengan ramah dan gandengan tangan ke tempat makan. Menunya daging ‘enak’ dan ada bonus sayur bening kelor, seger rasanya. Dan jangan lupa ambil daging ‘enak’. Sambil makan pagi ngobrol dengan pak Pdt Budi Cahyono yang sekarang menjadi Sekum GKJW. Guyonan khas jawa timur sambil mengenang peran beliau melayani di GKJ Brayat Kinasih selama menempuh studi S3 di UKDW. Bahkan beliau pernah mewakili saya untuk tukar mimbar Sinode GKJ. Beliau punya tempat khusus di GKJ Brayat Kinasih. Kemudian kami berkumpul di ruang sidang. Saya sejak datang agak penasaran kenapa banyak peserta yang menggunakan pakaian daerah masing-masing. Saat saya masuk ruangan sudah menanti Pak Pdt Simon, Ibu Pdt Tyas dan Pak Pdt Aris, dan Pak Ketum serta Pak Sekum menggunakan sorjan dan blangkon. Saya hanya tersipu karena ketidaktahuan soal kostum daerah, saya hanya menggunakan batik. Maklum kan ini kali pertama saya mengikuti acara level nasional.
Pagi itu kami mengadakan ibadah di ruang sidang dengan nuansa ibadah Taize. Setelah itu Sidang dipimpin oleh Ibu Dr. Henriette Tabita Hutabarat-Lebang dan meminta Wasekum PGI untuk memanggil masing-masing peserta persidangan, baik yang berasal dari Sinode-Sinode yang disebut sebagai utusan maupun para peserta dari PGI Wilayah, POK (Pendidikan Oikumene Keindonesiaan) dll yang disebut sebagai peserta peninjau. Ada 91 sinode yang berkumpul, utusan utama maksimal hanya 5 sedangkan peninjau tidak terbatas. Ada sinode yang mengutus peninjau sebanyak 21 orang, ada juga sinode yang hanya mengutus peserta utusan sidang hanya 1 orang dari kuota 5 orang.
Acara dilanjutkan dengan upacara pembukaan di Pantai Purukambera Sumba Timur. Perjalanan bus sekitar 1 jam dengan pemandangan bukit bebatuan dengan selingan beberapa pohon hijau yang saling berjauhan. Bebatuan yang keras mengambarkan semangat dan keteguhan hati para putra-putri yang hidup di Hidden Paradise Island. Hamparan pegunungan yang Pak Pdt Aris menyebutnya seperti dasar laut, di beberapa tempat nampak kuda-kuda Sandalwood sedang berteduh dibawah pohon dan banyak juga yang sedang bercengkrama.
Sekitar jam 12 siang, kita sampai di lokasi dan disambut dengan makan siang dan ketemu lagi dengan daging ‘enak’, pokoknya enak. Ada menu lain yang belum bisa mengalahkan daging ‘enak’ itu. Kemudian kami berjalan kaki menuruni bukit menuju laut yang nampak biru, sebiru hati saya mengingat pastori dan penghuninya. Area acara dibagi dalam empat zona. Zona pertama berupa bangunan VIP yang dibuat dari bambu dengan atap jerami menghadap ke laut. Zona ini diisi oleh para bupati, gubernur dan menteri Yasonna Laoly yang mewakili presiden. Zona dua dan tiga berupa tenda besar dan memanjang menghadap lapangan luas sedangkan zona empat berupa gundukan tanah dengan tiga trap yang depannya ada bangunan kecil yang dipergunakan sebagai mimbar ibadah.
Orang tumpah ruah, menurut panitia kursi yang disiapkan sekitar 10 ribu, dan kalau memperhatikan banyak orang berdiri di perbukitan sungguh luar biasa banyaknya. Bahwa seorang panitia mengatakan diperkirakan bisa menembus angka 15 ribu orang berkumpul. Dari tempat saya duduk di zona empat memandang orang di zona tiga nampak seperti kumpulan semut, demikian juga orang-orang berdiri di bawah bola api surgawi, nampak seperti kumpulan semut juga. Tempat yang sangat luas penuh dengan anak-anak Tuhan yang merayakan tema : Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir. Perayaan iman tentang penghayatan bahwa Tuhan yang memulai segala sesuatu, maka Ia yang terus menyertai sampai selesai. Dan juga penuh dengan penghayatan bahwa Tuhan akan meminta pertanggungjawaban kita manusia di akhir yang Tuhan tetapkan.
Pesta iman terus dihayati dengan ibadah dan luar bisa, penuh dengan karya seni. Seni berbentuk teaterikal, drama, tarian, nyanyian dan iringan musik yang etnik. Beberapa kali saya harus menghapus air mata haru atas peristiwa besar ini. Pesta rakyat sungguh mengiringi upacara pembukaan. Isian acara berasal dari empat kabupaten yang ada di Sumba, sepanjang jalan bertemu dengan orang berpakaian adat Sumba, dengan parang yang terselip bagi kaum pria dan konde ukir bagi para perempuan. Banyak tampilan yang luar biasa mulai dari tarian, nyanyian dan juga ratusan kuda Sandalwood yang dipacu di lapangan luas, dengan teriakan khas yang saya gagal mencoba menirukannya.
Pesta rakyat memang sungguh terjadi. Sekolah diliburkan, ASN diliburkan untuk menyukseskan acara pesta iman ini. Ketua panitia Bp Drh. Yohanis Anggung Praing, M.Si dalam sambutannya menyampaikan bahwa persembahan berupa kayu bakar, sapi dan babi yang tidak terhitung. Beliau menyampaikan bahwa orang-orang Sumba sungguh sadar, peristiwa ini adalah peristiwa yang mungkin sekali seumur hidup mereka alami. Jadi mereka melakukan yang terbaik atas kesempatan yang dimiliki. Mari kita belajar seperti mereka.