Anak-anak Allah
ANAK-ANAK ALLAH
Pdt. Sundoyo
GKJ Brayat Kinasih
Teks Roma 8:14 menyampaikan kepada kita bahwa : “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah”. Sebutan anak Allah menjadi sesuatu yang luar biasa. Bayangkan saja kalau kita jadi anaknya bupati atau gubernur bahkan presiden pasti bangganya bukan main. Kita bahkan menyebutkan itu sebagai setatus yang prestisius. Karena posisi yang luar biasa ini, sering juga diakui bahwa posisi anak Allah adalah status tertentu dan hanya untuk orang tertentu saja.
Pencerahan baru bagi saya ketika menghadapi istri yang hamil. Kami memang sudah cukup lama menanti anak pertama kami. Apalagi setelah mengalami keguguran karena tiga virus yang menduduki benteng pertahanan tubuh sang calon ibu. Kehamilan yang ditunggupun akhirnya datang dengan segala macam variasi gangguan kehamilan yang menyertai. Ketika usia kehamilan sekitar 5 bulan, nampak riak wajah perempuan berambut tebal itu sudah jernih karena bisa merasakan gerakan bayi dalam kandungan. Itu semacam miss call yang selalu memberi tanda bahwa masih ada kehidupan dalam kandungan. Namun suatu pagi yang dingin karena gerimis hujan, aku dibangunkan suara tangisan. Tangisan dari sebelah gulingku. Istriku menangis kata dalam hatiku, ada apa ini ? sakit apa dia ? semua bergejolak dalam benakku. Pikiranku langsung membuka file ketika kami menghadapi berita dari dokter bahwa jantung anak kami sudah tidak berdetak 3 tahun yang lalu.
Sambil menangis ia mengatakan kalau sudah dua hari ini anak dalam kandungannya tidak bergerak. “mas… iki piye. Anaknya dak bergerak sama sekali, jangan-jangan ia …” kalimatnya terhenti oleh tangisan yang disertai pecahnya selaput penampung air mata. Saya bingung harus berbuat apa. “ayo berdoa”, sergapku menghadapi kepanikan dipagi sunyi itu. Kami tertunduk dalam keheningan, masuk dalam ruang kekudusan Tuhan. Kami menyadari tidak punya kuasa dan hak terhadap kehidupan anak ini. Kami hanya bisa memohon kalau Tuhan ijinkan, kami bisa momong anak ini. Saat kami berdoa, tanganku diguncang gerakan besar dibalik kulit perut istriku. Ia berhenti menangis dan gantian sekarang aku yang menangis. Tangisan keharuan dan ucapan trima kasih kepada Tuhan empunya hidup.
Peristiwa besar yang kedua, saya alami ketika usia kandungan masuk pada usia bulan ketujuh. Saat pagi hari saya dikejutkan dengan teriakan dari kamar mandi. Ada darah keluar saat buang air besar, itulah penjelasan singkat peristiwa yang menguras tabungan emosi kami. Dalam sejurus kami sudah berada di rumah sakit dan memang harus beristirahat disana. Saya sadar betul bahwa anak itu hadir ditengah keluarga karena Tuhan mengijinkan ia hadir dalam kehidupan kita.
Dari pengalaman hidup ini menolong saya untuk mengerti bagaimana menjadi Anak-Anak Allah. Yang pertama, membawa kesadaran kepada kita bahwa setiap anak yang hadir dalam hidup kita adalah milik Tuhan. Kalau semua anak yang lahir adalah anak Tuhan, sangatlah penting untuk kita sadari bahwa semua orang manjadi satu saudara. Dan menjadi keniscayaan bila sesama saudara itu saling mencintai dan mengasihi. Anak-anak hadir sebagai titipan yang diberikan kepada kita, yang kemudian harus kita pelihara dan kita pertanggungjawabkan lagi kepada yang punya. Apa yang kita ajarkan dan teladankan akan membentuk mereka dan semua yang kita ajarkan itu harus mencerminkan Tuhan yang empunya mereka. Seorang penyair mengatakan bahwa mereka adalah mata panah milik Tuhan dan kita adalah busurnya. Jadilah busur yang merentang kuat.
Hal kedua, pengertian menjadi Anak-Anak Allah merupakan kondisi mental yang membanggakan. Sama seperti ketika kita mengatakan anaknya bupati, kita akan berani menghadapi masalah karena kita yakin kalau bapak kita pasti menolong. Kebanggan yang disertai rasa percaya diri dalam menghadapi masalah hidup yang kita pikul. Apapun masalah yang kita hadapi ingatlah bahwa kita adalah anak-anak Allah. Kita punya Bapa yang senantiasa menolong kita. Kita yakin bisa menghadapi masalah karena kita punya kapasitas yang besar seperti Bapa kita. Anak-Anak Allah kondisi batin yang kuat menghadapi masalah dan kondisi hati yang kokoh dalam menyelesaikan semua persoalan hidup.
Hal ketiga, menjadi Anak-Anak Allah merupakan kondisi cara hidup kita yang menampakan kemiripan dengan orang tua kita. Lihatlah anak-anak disekitar kita, kita bisa mengenali mereka dari perawakan wajah dan atau cara berkata serta bertindak mereka memiliki kemiripan dengan orang tua mereka masing-masing. Kalau sekarang kita mengaku sebagai Anak-Anak Allah, apakah kita mempunyai ‘kemiripan’ dengan Orang Tua kita ? sehingga semua orang yang melihat kita akan berkata bahwa kita memang Anak-Anak Allah. Mereka bisa memberikan kesaksian bahwa cara hidup kita mirip dengan Tuhan, Bapa kita. Tuhan yang seperti apa yang kita kenal. Ia yang maha murah, maha kasih, maha mengampuni, maha penyayang. Kalau Tuhan sebagai Bapa kita seperti itu, apakah kehidupan kita mencerminkan kehidupan yang punya kemiripan seperti itu ? atau jangan-jangan tingkah laku kita sama sekali jauh dari kemiripan dengan ciri Bapa kita sendiri. Kalau seperti itu maka orang yang melihat akan menjadi ragu. Mengaku sebagai Anak-Anak Tuhan tapi cara hidup tidak mencerminkan kemiripan dengan Bapanya, terus mirip siapa? Jangan-jangan ini anaknya……. ?
Kita semua adalah Anak-Anak Tuhan. Yang dilahirlah sebagai bintang…. Bintang yang memancarkan cahaya keteduhan dari Tuhan.
“SI….MBAH”
SI..MBAH
Oleh Pdt. Sundoyo – GKJ Brayat Kinasih
Tidak muat lagi….. itulah rasanya hati ini ketika mendengar bahwa gunung anak Krakatau menggeliat, memberikan acaman bagi kehidupan. Sudah tidak ada tempat lagi bagi hati ini untuk menyaksikan bahwa ada puluhan gunung di Indonesia yang mulai menaikan status mereka. Debu masih menempel di daun-daun tanaman depan rumah. Masker yang sudah tebal dengan debu vukanik belumlah disingkirkan dan sepertinya akan banyak masker yang lain yang dibutuhkan ditengah-tengah ancaman yang ada. Bagaimana kita harus melihatnya…. bagaimana kita harus menceritakan kepada anak-anak cucu kita tentang segala penderitaan dan sekaligus juga akan iman yang tetap teguh bahwa Tuhan semesta alam adalah sumber segala kebaikkan. Bagaimana dengan Marapi, kenyataan yang paling dekat dengan hidung kita sendiri.
Di dalam buku Mata Air Bulan, Sindhunata merefleksikan iman dari orang-orang miskin yang sederhana di daerah sekitar lereng Gunung Merapi, ketika dia bertugas sebagai iman di antara mereka. Buku ini merupakan salah satu dari buku-buku yang sangat mengharukan yang pernah saya baca. Gunung Merapi merupakan pusat refleksi dari penduduk tersebut. “Mbah Merapi menakutkan tetapi juga penuh dengan cinta terhadap penduduk desa. Mbah Merapi berada jauh di kratonnya, yang tak terhampiri oleh manusia, tetapi Mbah Merapi juga selalu datang dan mendekati manusia. Memberikan kesuburan dan kehidupan bagi manusia. Dengan laharnya dan letusannya yang mematikan, Mbah Merapi menuntut korban manusia, tetapi Mbah Merapi juga membalasnya dengan rejeki alam berlimpah-limpah. Kami mendengar lagi gemuruh dari Gunung Merapi. Kami merasa Tuhan itu seperti Mbah Merapi : Tuhan itu dahsyat tapi indah, Dia mematikan tetapi juga menghidupkan, Dia jauh tetapi dekat, Dia menuntut banyak tetapi juga memberi dengan murah hati, Dia kaya raya tetapi juga sangat sederhana. (Seperti yang dikutip oleh Prof. Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D dalam tulisannya : “Allah dan Penderitaan di Dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia” dalam buku : Teologi Bencana).
Inilah penggalan refleksi tentang Mbah Merapi, pemberi kesusahan yang mematikan namun sekaligus memberikan daya kehidupan yang melampaui semua kerusakan yang ditimbulkan. Banyak ancaman bencana yang ada disekitar kita, potensi yang terkandung dalam bumi Indonesia. Semuanya akan menghampiri kita tanpa terlebih dahulu ijin dengan kita. Kita tidak punya kuasa untuk mencegahnya. Namun persoalan seberapa banyak yang akan menjadi korban, bagaimana dampaknya bisa diperkecil, kita punya kemampuan untuk melakukannya. Kita bertanggung jawab meminimkan korban yang ditimbulkan.
Geserkan sedikit kaki, julurkan sedikit leher dan mari sekarang kita belajar dari peristiwa yang mematikan itu. Saat tanda dibunyikan bahwa segera mengungsi, maka kita melihat banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri. Meninggalkan rumahnya, meninggalkan ternaknya, meningalkan semua hal yang menjadi hak miliknya. Hanya membawa apa yang bisa dibawa. Disinilah kita menemukan makna akan kehidupan. Keselamatan lebih penting dari pada apapun yang kita kumpulkan dalam kehidupan ini. Tuhan bersabda kepada orang kaya yang bodoh, yang mengumpulkan harta benda tanpa peduli untuk hidup dalam cara yang benar. Kemudian kematian menjemput, untuk apakah semua harta yang kau kumpulkan itu, hai orang kaya yang bodoh. (Lukas 12 : 13 – 21). Harta bukanlah tujuan dan kalau kita menempatkan harta sebagai tujuan maka kehidupan ini akan menjadi terjungkir tidak karuan. Tujuan kita adalah Tuhan, mari menempatkan itu sungguh-sungguh sebagai arah kehidupan kita.
Namun dalam berita kita menyaksikan ada seorang simbah yang tidak mempedulikan keselamatan nyawanya sendiri dan bertekat untuk tidak mengungsi. Berita tentang beliau setinggi awan panas yang membumbung ke angkasa. Mencengangkan setiap keharusan pikiran kita. Namun sekali lagi mari kita belajar dari Si Mbah ini. Menggema dalam ruang batin kita bahwa beliau setia sampai maut menjemput untuk menjalankan tugas hidupnya, setia sampai bersimpuh tak bernyawa untuk meunjukan kesetiaan terhadap komitmennya mejalankan tugas. Bertanggung jawab penuh pada apa yang sudah diucapkan dikala bersedia memangku jabatan.
Inilah gema yang menggelegar bersama dengan hujan abu yang menyelimuti Yogyakarta. Mengingatkan kita akan banyak komitmen yang kita ucapkan, mengajarkan akan arti kesetiaan akan janji yang pernah diucapakan. Gema itu melaju dan menyergap setiap suami atau istri untuk tetap setia dengan janji pernikahannya, menyelimuti batin setiap orang tua untuk berkomitmen memberikan teladan hidup bagi anak-anak pewaris jaman. Mengguncang kursi para pejabat yang mungkin terlena dengan dinginnya ac ruangan, melupakan atau terlupa dengan janji saat serah terima jabatan. Kita bisa mengembangkanya sendiri ke dalam seluruh sendi kehidupan keluarga dan bangsa kita, akan sebuah kesungguhan hati memegang tanggungjawab sampai mati. Sebuah gema yang menggelegar bersama dengan dahyatnya Si Mbah Merapi dan Si Mbah yang telah mati. Renungkanlah sabda ini, 1 Samuel 26:23 “TUHAN akan membalas kebenaran dan kesetiaan setiap orang”. O ya.. satu yang terakhir : Janganlah berita tentang si mbah ini dan siapa penggantinya mengalahkan berita dan perhatian kita kepada para korban. Selamat melayani mereka yang membutuhkan bantuan. Lihatlah Tuhan sedang mengantri makanan bersama para korban.