GKJBrayatKinasih.or.id, Miliran – Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan semua agama jelas melarang praktik gratifikasi. Orang yang beragama semestinya mampu mencegah praktik gratifikasi dari diri sendiri, baik menerima maupun memberi karena bertentangan dengan ajaran agama.
Hal ini ungkapkan Zainut Tauhid Sa’adi saat menjadi keynote speech dalam gelaran Diseminasi Buku “Gratifikasi dalam Perspektif Agama” secara daring, kerjasama Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Dengan terbitnya buku Gratifikasi dalam Perspektif Agama, masyarakat diharapkan dapat memahami substansi gratifikasi dengan benar. Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Kementerian Agama sepakat bahwa pemuka agama memainkan peran vital dalam diseminasi pengetahuan tentang gratifikasi,” ujar Wamenag.
“Hal tersebut dikarenakan posisi vital pemuka agama sebagai tempat rujukan umat dalam memberikan fatwa perihal hukum agama,” sambungnya.
Wamenag pun memaparkan sekilas pandangan agama-agama terhadap gratifikasi. Dalam agama Buddha, dikenal sebuah ajaran yang dinamakan berdana atau dana paramitha, yaitu pemberian tanpa pamrih dengan harapan melepas keterikatan demi kebahagian semua makhluk.
Pemberian ini merupakan wujud kedermawanan atau kemurahan hati yang didasari sifat luhur untuk beramal atau berkorban demi kepentingan umum.
Seorang pemberi gratifikasi mengharapkan sesuatu dari penerima untuk kepentingan pribadinya dalam bentuk imbalan. Maka, praktik semacam ini justru akan menambah nafsu (lobbha) atau keserakahan.
“Agama Hindu mengajarkan agar manusia mengamalkan asih, puniya, dan bhakti di dalam semesta ciptaan-Nya. Konsep dasar ini menjadi petunjuk bagi pemeluknya dalam menjalani empat jenjang kehidupan (Catur Asrama) dengan baik untuk mencapai moksa, atau lepas dari ikatan duniawi,” kata Wamenag.
Manusia, lanjut Zainut Tauhid, tentu membutuhkan materi (arta) dan mempunyai keinginan (kama) untuk menopang kehidupannya. Untuk memenuhi kedua aspek tersebut, segala perbuatan harus berdasarkan pada darma atau ajaran tentang kebenaran, pandangan dan tuntunan hidup.
“Memperoleh arta dan kama dari perbuatan yang menyimpang dari darma maka tidak ada manfaatnya bagi kehidupan, hanya akan membawa pelakunya pada penderitaan,” tandas Zainut.
Begitu juga dengan Agama Katolik dan Kristen yang turut mengecam praktik gratifikasi. Ada konsep persembahan sebagai pemberian yang berkenan kepada Tuhan, yakni pemberian yang dilakukan dengan sukarela, hal itu tentu berbeda dengan gratifikasi.
“Karena gratifikasi merupakan pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya,” pesan Wamenag.
Dan dalam Perjanjian Lama dituliskan “Suap orang janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar (Keluaran 23:8). (Sumber: kemenag.go.id)