GKJBrayatKinasih, Jakarta – Tantangan dalam pemeliharaan kerukunan antar umat beragama masih belum selesai. Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang berorientasi pada kewenangan atribusi malah menimbulkan beberapa permasalahan dan risiko.
Komnas HAM RI melalui bagian Pengkajian dan Penelitian, menggelar acara Focus Group Discussion (FGD) Tinjauan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. FGD dilaksanakan di Hotel Novotel Cikini, Jakarta Pusat, (22-23/07/2020).
Dalam diskusi tersebut, hadir sebagai narasumber, Ihsan Ali Fauzi dari PUSAD Paramadina dan Dr. Ricca Anggraeni, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Kedua narasumber memberikan banyak masukan dan pandangan baru mengenai PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 beserta perkembangannya.
Dalam paparannya, Ihsan menerangkan secara detail kajian yang telah dilakukan oleh PUSAD Paramadina terkait implementasi PBM. “Objek kajian saat ini harus dievaluasi. PBM yang telah ada, mengistimewakan agama-agama tertentu, khususnya agama yang telah diakui secara formal saja. Selain itu, unsur ‘menimbang’ dalam PBM 2006 menghambat realisasi hak-hak warga negara karena membuka penafsiran yang subyektif, sehingga penafsiran kelompok mayoritas lebih memungkinkan dimenangkan oleh negara”, papar Ihsan.
Lebih lanjut Ihsan memaparkan bahwa setelah PBM 2006 hadir, tantangan konflik agama masih belum selesai. Peran Fasilitator Kerukunan Umat Beragama (FKUB), untuk menjadi penengah konflik belum maksimal. FKUB justru lebih berfokus pada masalah verifikasi dan administrasi rekomendasi pendirian tempat ibadah. Padahal, seharusnya peran FKUB yang penting adalah menjadi fasilitator bagi pihak yang berkonflik, bukan ikut terlibat menjadi salah satu pihak yang berkonflik.
Pada sesi berikutnya, Ricca memberikan penjelasan mengenai posisi PBM dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana seharusnya kedudukan pengaturan rumah ibadah. “Pengaturan tempat ibadah melalui peraturan menteri telah menimbulkan beberapa permasalahan. Wewenang PBM yang berorientasi pada kewenangan atribusi malah menimbulkan beberapa risiko. Salah satunya adalah tumpang tindihnya peraturan atau hyper regulation,” jelas Ricca.
Oleh karena itu, Ricca menyimpulkan, perlu adanya penguatan masalah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembatasan HAM dalam hal pengaturan pendirian rumah ibadah menurut Pasal 28J UUD 1945 seharusnya adalah melalui Undang-Undang. Dalam hal substansi peraturan pun harus mengacu pada perspektif HAM sehingga potensi intoleransi yang selama ini terjadi, bisa ditekan.
Melalui Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian, Komnas HAM RI pada 2020 ini, melakukan pengkajian terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang berkaitan dengan pendirian tempat ibadah.
Berdasarkan data pengaduan yang diterima Komnas HAM dan informasi tim Standar Norma dan Pengaturan Kebebasan Beragama, selama ini persoalan ataupun konflik yang berkaitan dengan rumah ibadah, hampir secara umum memiliki relasi dengan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Bertitik tolak pada pandangan tersebut dan belum pernah dilakukan koordinasi yang intens, maka diperlukan agenda percepatan berupa rapat koordinasi dan pendalam materi dari narasumber yang kompeten dalam persoalan kajian PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, terutama dalam aspek pendirian tempat ibadah. (Sumber: Komnasham.go.id)