Home » Artikel » Warta Jemaat Cetak, Masihkah Relevan?

Warta Jemaat Cetak, Masihkah Relevan?

GKJBrayatKinasih, Miliran – Gereja kini dihadapkan pada majunya perkembangan teknologi. Banyak gereja kehilangan “taji”nya karena berhenti untuk beradaptasi dengan gaya hidup masyarakatZaman berubah, gereja harus berbenah, dengan semangat dan jiwa Kristus yang sama.

Saya sudah mulai dapat mengingat dengan benar pada akhir tahun 90-an, dan pada saat yang sama itulah, saya menyadari bahwa setiap hari Minggu, saya akan bersama dengan keluarga menghadiri ibadah di gereja. Gereja Kristen Jawa (GKJ) Plengkung, itulah gereja yang rutin kami kunjungi — entah bersama kedua orang tua maupun bersama nenek. Enggan berpisah dengan keluarga, itulah alasan yang membuat saya telah rutin masuk dalam ibadah umum sedari kecil.

Salah satu yang saya hafal ialah prosesi atau kejadian ketika saya beserta keluarga hendak masuk ke dalam gereja. Sampai di teras, ada beberapa orang berpakaian rapi menyambut kami dengan bersalaman — persis ketika hendak memasuki gedung resepsi pernikahan. Belakangan, saya baru tahu bahwa mereka memiliki sebutan usher, meski di beberapa gereja, jemaat lebih familiar dengan gelar penyambut jemaat. Seusai disambut, kami akan diberikan sebuah booklet atau leaflet yang disebut Warta Jemaat (selanjutnya akan disingkat warje). Di kertas inilah, tertera informasi dari gereja yang perlu diketahui jemaat, baik seputar kegiatan gereja, agenda pada minggu atau bulan mendatang, kondisi keuangan, serta informasi jemaat (pernikahan, kelahiran, ulang tahun, atau berita duka).

Beranjak remaja, saya mulai mengunjungi gereja lain yang berbeda dengan kedua orang tua saya. Biasanya karena afiliasi dengan sekolah tempat saya berada. Pada saat inilah, saya menyadari, meski denominasi (atau aliran) gereja yang saya datangi berbeda-beda, tetapi rata-rata memiliki proses penyambutan jemaat yang hampir sama: beberapa orang berpakaian rapi menyambut dengan salam hangat, kemudian menyodorkan kumpulan kertas berjudul “Warta Jemaat”. Terkesan bukan hal penting memang. Namun, bagaimana kultur yang sepele ini justru yang paling luas diaplikasikan dalam ibadah gereja?

Tidak ada dokumentasi dan paparan yang gamblang dari sumber tertentu mengenai sejak kapan gereja-gereja di Indonesia mengenal sistem warje; atau alasan warje ini dibuat. Barangkali memang sejak awal tidak ada yang menganggap warje merupakan bagian penting dalam peribadatan sehingga keberadaannya luput dari pengamatan orang-orang. Barangkali, alasan yang sama pulalah, yang menyebabkan keberadaan warje tidak diusik, meski zaman telah berganti dan gaya hidup masyarakat telah banyak berubah.

Melalui artikel ini, saya hendak memberi panggung istimewa kepada warje untuk menyadarkan dampak yang diberikannya, kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus analisis relevansinya pada era informasi dan teknologi seperti saat ini.

Tren

Kebiasaan gereja memproduksi warje setiap minggunya agaknya tidak terlepas dari tren masa lalu dan sejarah gereja di Indonesia. Sejak prakemerdekaan, kerap dijumpai cerita yang mengisahkan bahwa corong informasi dengan daya penetrasi paling besar di tengah masyarakat ialah media cetak. Karena itu, tidak heran jika dari sebelum merdeka hingga sampai orde baru, media cetak nyaris selalu berkonflik dengan pemegang kekuasaan — dan tidak jarang berujung pemberedelan bagi media yang tidak mau tunduk. Alasan keterbatasan teknologi dan mungkin biaya produksi inilah yang membuat media cetak menjadi primadona, baik untuk masyarakat maupun sang pemilik kepentingan pada masa itu.

Dari sisi sejarah gereja, kita ketahui bersama bahwa kekristenan dibawa para misionaris Belanda dan Jerman (bangsa Eropa). Dengan kata lain, gereja disebarkan oleh kaum intelektual yang setidaknya bisa membaca dan menulis. Mengacu pada kondisi waktu itu ketika sistem transportasi dan perumahan belum sepadat sekarang, kita dapat bayangkan bahwa akses menuju gereja tentu belum semudah saat ini. Guna menyebarkan informasi — terlepas dari sifatnya yang internal atau untuk umum — diperlukan sebuah media yang mudah dibuat, murah, dan dapat dijadikan sebagai pengingat. Jawaban satu-satunya ketika itu tentu saja: media cetak — yang berujung pada produksi warje.

Namanya tren tentu saja akan berubah seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini mulai terjadi seiring berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi serta dibangunnya infrastruktur pendukung untuk teknologi tersebut di Indonesia. Perlahan tetapi pasti, media cetak sudah mulai tergusur oleh media elektronik, khususnya internet — yang dapat menyediakan informasi dengan lebih cepat, terkini, mudah diakses, dan murah. Bahkan, kini banyak media cetak yang berangsur menurunkan oplah produksi fisiknya dan mulai bersaing dalam ranah baru, media daring (dalam jaringan= online).

Gereja sebagai lembaga yang hidup di tengah realitas kehidupan masyarakat, sejatinya perlu beradaptasi dengan kondisi nyata yang sedang terjadi. Sama halnya ketika mewujudkan warje ketika media cetak masih menjadi arus utama metode penyebaran informasi, maka ketika arus utama ini beralih pada media lain, penyesuaian menjadi perlu untuk dilakukan. Walau demikian perlu diakui, bahwa move-on dari produksi warje tidak semudah membalikkan telapak tangan; banyak tantangan yang harus dihadapi, termasuk dari internal jemaat sendiri.

Bagi daerah dengan akses komunikasi terbatas, peralihan warje cetak menjadi daring memang belum relevan saat ini karena selain tenaga ahli, infrastruktur juga menjadi masalah tersendiri. Namun, di sisi lain, kenyataan bahwa pemerintah sedang menggenjot ketersediaan kemudahan akses informasi dan komunikasi di seluruh negeri tidak boleh diabaikan. Cepat atau lambat, perubahan akan terjadi dan masyarakat akan terbiasa dengan kecepatan informasi dan kecanggihan teknologi. Ini bukan ancaman, melainkan peluang yang perlu dipersiapkan dengan matang agar gereja tidak keteteran dan kalah saing ketika panggung telah tersedia.

Apa Dampaknya?

Sebelum mengulas dampak dari warje, saya akan membawa pembaca sekalian sedikit kembali ke masa lalu. Ketika gereja masih sebagai lembaga asing (di bawah lembaga misionaris Eropa), gereja mendapat dukungan moral dan materiil begitu besar. Dukungan ini oleh pendeta dan jemaat lokal sebagian dialokasikan untuk pelayanan masyarakat, baik dalam wujud kesehatan, pendidikan, maupun bantuan ekonomi. Gereja menjadi dianggap keberadaannya oleh masyarakat lantaran peranannya dan keterlibatannya dalam menyediakan kebutuhan masyarakat kala itu. Gereja menjadi bagian hidup masyarakat.

Dewasa ini, di tengah masyarakat yang serba sibuk dan akrab dengan gawai serta media sosial, gereja mulai kehilangan dampaknya. Bukan karena gereja berhenti menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, maupun bantuan ekonomi. Toh lembaga-lembaga tersebut masih ada wujudnya hingga saat ini (baik sekolah, rumah sakit, maupun koperasi). Penyebab gereja kehilangan tajinya ialah karena gereja berhenti untuk beradaptasi dengan gaya hidup masyarakat. Model pelayanan dan kegiatan yang dibuat oleh gereja masih mengacu pada apa yang ditanamkan oleh misionaris Eropa seabad yang lalu. Praktis, daya tarik tersebut kian lama kian pudar.

Gereja lebih sering menyuarakan keburukan gaya hidup kekinian dibanding mencari celah untuk masuk dalam kehidupan umat lewat gaya hidup tersebut. Media sosial, provokasi, berita hoaks, keacuhan di dunia nyata, berfokus akan diri sendiri dan uang (self-oriented dan money oriented) — semua sebatas disanggah lewat ucapan mimbar tanpa dibarengi perlawanan lewat medium yang sama. Ora et labora, semboyan bahasa Latin yang memiliki arti bekerja sambil berdoa. Mengutip filosofi sepakbola dari Pep Guardiola, “Pertahanan terbaik adalah dengan menyerang” — maka tidak cukup membangun tembok pertahanan via doa dan khotbah semata, kebaikan harus diperjuangkan lewat berbagai lini.

Memuat warje dalam wujud daring merupakan salah satu cara membuat gereja kembali dekat dalam kehidupan masyarakat. Tangan orang perkotaan yang susah lepas dari gawai menjadi salah satu keuntungan dalam memudahkan gereja mengingatkan jemaat akan keberadaannya (melalui online reminder atau notification).

Sama dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan media, penyediaan warje daring membuat informasi tersedia lebih cepat bagi jemaat, lebih mudah dibuat oleh content maker, dan lebih murah dalam operasional. Begitu pula dengan pengurangan limbah kertas akibat produksi warje cetak setiap minggunya, warje daring jauh lebih ramah lingkungan.

Zaman berubah, gereja harus berbenah, dengan semangat dan jiwa Kristus yang sama.

Membicarakan dampak tentu harus mempertimbangkan fungsi dan tujuan utama dari warje itu dibuat. Apakah warje daring memperkuat fungsi dan tujuannya, atau justru memperlemah? Dari berbagai warje yang pernah saya peroleh, warje memiliki 4 fungsi utama; yakni memberi informasi, media promosi, wahana apresiasi, dan membina jemaat.

Selama ini gereja sudah terbiasa menyuapi jemaatnya dengan informasi setiap seminggu sekali. Penggunaan media daringdalam penyaluran warje akan menuntut administrator untuk menyuapi jemaat dengan lebih intens dan konten lebih beragam. Umumnya, tantangan terbesar bukanlah faktor eksternal, melainkan faktor internal bagaimana gereja memutus rantai kebiasaannya, terlebih untuk membangun sebuah kebiasaan baru yang lebih rumit dan kompleks.

Dari segi fungsi, media daring justru memperkuat fungsi mula-mula warje — dengan memberi informasi yang lebih cepat, promosi yang lebih intens, apresiasi yang lebih berwarna, serta pembinaan yang lebih terstruktur. Media daring bahkan berpotensi melahirkan fungsi baru yakni sebagai kanal komunikasi dengan jemaat (seperti kotak kritik dan saran) serta sistem pendataan dan pengawasan (monitoring) jemaat oleh gereja.

Pada beberapa kesempatan, saya kerap menjumpai warje cetak dijadikan “tempat pelarian” jemaat dari khotbah yang membosankan. Dengan gestur membolak-balikkan tangan pada kertas warje ditambah raut wajah serius, sebagian orang justru membaca warje pada saat pelayanan firman. Kalau warje berada dalam format daring, penutupan akses membaca warje ketika kebaktian berlangsung memungkinkan untuk dilakukan. Suatu nilai tambah yang tidak dapat dipenuhi oleh warje cetak.

Tantangan

Setelah mengulas urgensi dan peluang dari warje daring, saya akan coba mengulas apa tantangan dan kendala yang mungkin dihadapi oleh gereja untuk berpindah ke warje daring, atau bahkan ketika gereja telah memiliki warje daring.

Kita tentu sadar bahwa gereja sebagai salah satu komunitas sosial terdiri dari individu yang jamak — beragam dalam berbagai faktor kecuali agama. Tantangan pertama dari warje daring ialah memiliki kemungkinan tidak dapat diakses oleh semua kalangan. Umumnya, golongan orang tua dan mereka yang diberi label “gagap teknologi” serta orang-orang dengan keterbatasan akses internet ialah mereka yang berpotensi tidak memperoleh informasi dari warje daring.

Peralihan warje cetak menjadi warje daring tentu memerlukan proses yang tidak sebentar. Membangun platform yang dikehendaki (website, blog, aplikasi Android/iOS), menyediakan sumber daya manusia dalam pengelolaannya, serta membangun sistem yang terintegrasi dengan badan organisasi yang telah terbentuk — semuanya memerlukan waktu, energi, dan biaya. Meski tidak tergolong hal yang mustahil untuk dipenuhi, tetapi umumnya tekad dan konsistensi pada masa-masa awal berubah adalah tantangan yang mau tidak mau harus mampu untuk dilalui.

Pada era sekarang, kanal informasi terbuka begitu luas. Hal ini menyebabkan banyak potensi dan kesempatan baru bermunculan — baik positif maupun negatif. Dari sisi positif, distribusi informasi yang semakin luas membuat gereja dapat menjangkau lebih banyak orang, berinteraksi dengan lebih banyak lembaga, menjalin kerja sama dengan pihak-pihak tertentu, dan sebagainya. Namun, dari sisi negatif, luasnya distribusi informasi juga berpotensi untuk disalahgunakan. Oleh karena itu, warje daring wajib dikelola secara profesional dan bertanggung jawab — dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi.

Bagaimanapun, tantangan adalah sesuatu yang harus dijawab dan diselesaikan, bukan dihindari.

Kesimpulan

Melalui rentetan pemaparan yang saya berikan di atas, saya menyimpulkan bahwa warje cetak dewasa ini sudah mulai tidak relevan dengan perkembangan zaman, mengingat media cetak sudah tidak lagi menjadi media arus utama dan mulai tergeser oleh media daring. Oleh karena itu, gereja harus mulai beradaptasi dan mempersiapkan diri untuk dapat berkompetisi pada era sekarang, salah satunya dengan cara hadir di dunia maya melalui penyediaan warje daring.

Warje daring memiliki banyak kelebihan maupun tantangan yang harus dijawab. Oleh karena itu, gereja dituntut untuk menjawab tantangan tersebut dan tidak tinggal diam serta duduk dengan nyaman — hanya dengan melanjutkan adat istiadat yang dibentuk seabad silam di bawah naungan lingkungan masyarakat yang sama sekali berbeda. Zaman berubah, gereja harus berbenah, dengan semangat dan jiwa Kristus yang sama.

Saya pribadi berharap, semoga gereja segera memasuki dan berkiprah di dunia maya. Melalui tulisan ini pula, saya ingin agar setiap pembaca terinspirasi untuk berjuang membawa kebaikan bagi masyarakat dan lingkungan sekitar dari berbagai lini, khususnya melalui media elektronik.

Tuhan memberkati.

(Sumber: sabda.org)

Diambil dari: https://kudapanpagi.wordpress.com/2018/01/31/warta-jemaat-cetak-masihkah-relevan/

Penulis artikel: Bram Setiadi