GKJbrayatkinasih, Jakarta- Pada beberapa peristiwa selama 15 tahun terakhir, Indonesia menjadi headline di media dunia karena bencana-bencana alam yang mengerikan dan menyebabkan kematian ratusan ribu manusia dan hewan, serta menghancurkan wilayah daratannya, termasuk banyak infrastruktur sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi.
Melihat kenyataan tersebut, gereja dan lembaga Kristen yang juga bagian dari bangsa ini, diharapkan dapat memainkan peran. Sayangnya, respon gereja terkesan terlambat dan kalaupun ada sifatnya sporadis. sehingga dibutuhkan adanya kordinasi.
Untuk itulah, Gereja-gereja dan beberapa lembaga yang peduli terhadap persoalan bencana, selama tiga hari berturut-turut (27-29/9/2017), melaksanakan kegiatan Kongres Terbatas Gereja dan Bencana di Grha Oikoumene, Jakarta.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) PGI Pdt. Henrek Lokra, STh, Msi, menjelaskan kongres tersebut dalam rangka mendesain model kerjasama dan koordinasi gereja-gereja serta lembaga-lembaga Kristen dalam merespon bencana.
“Sekarang faktanya kalau ada bencana kita lambat sekali, dan kita punya sumber daya yang banyak tetapi tidak terkordinasi. Terkadang untuk merespon bencana siapa yang sudah turun di sana dengan bantuan yang sama akhirnya over lapping. Seharusnya kan ada assesment lebih awal supaya jelas di lapangan itu membutuhkan apa, lalu siapa yang bisa support. Ini penting supaya kita bisa merespon situasi emergensi itu dengan tepat, tidak asal datang,” jelasnya.
Lanjut Pdt. Henrek, kongres diawali pertemuan yang diinisiasi oleh Yayasan Sion dari GKJTU, Salatiga, Agustus tahun lalu, dalam rangka bagaimana mendisain model partisipasi gereja-gereja dan lembaga-lembaga bentukan gereja untuk merespon bencana. Dari pertemuan ini, terbentuklah Desester Risk Reduction (DRR) Network.
“Bidang KP PGI berterima kasih karena sudah diinisasi oleh Yayasan Sion, GKJTU dan didonasi Tear Nederland sehingga kegiatan ini bisa berlangsung, karena sejalan dengan program KP dalam rangka bencana. Karena ada keterbatasan maka model networking untuk merespon bencana sangat baik,” kata Pdt. Henrek.
Momen kongres ini, lanjutnya, sangat penting jika dikaitkan dengan Tema Sidang Raya PGI di Nias yaitu ‘Tuhan Mengangkat Kita dari Samudra Raya’. “Samudra raya yang kita refleksikan disini adalah sebagai gereja harus hadir merespon emergensi bencana. Harus diakui gereja masih minim kordinasi, dan terlambat merespon. Lalu dimana posisi profetik gereja kalau gereja masih sibuk dengan urusan sendiri-sendiri dan tidak mau berkordinasi,” katanya.
Selain sharing lembaga-lembaga agama dalam penanggulangan bencana, kongres juga akan diisi dengan sharing pengalaman gereja-gereja, workshop, pengesahan statuta Jaringan Komunitas Kristen untuk Masyarakat Tangguh Bencana di Indonesia (Jakomkris MTB) , dan pemilihan Pokja serta Koordinator. (Sumber PGI.or.id)