GKJBrayatKinasih, Yogyakarta – Kehadiran Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), yang sejak 1984 berubah nama menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), tujuhpuluhdua tahun lalu adalah wujud komitmen bersama gereja-gereja di Indonesia untuk meruntuhkan tembok-tembok yang memisahkan gereja-gereja.
Sebagai realitas sosial, gereja menyejarah dengan tradisi, ajaran, bahasa, suku dan adat istiadat yang ikut mempengaruhi keberadaannya. Itu semua memunculkan keragaman gereja, yang tentu memperkaya kehadiran gereja di muka bumi ini. Sayangnya, dalam perjalanan sejarahnya, keragaman itu kurang dirayakan dan disyukuri sebagai berkat yang memperkaya malah cenderung menciptakan keterpisahan satu sama lain. Masing-masing gereja membangun tembok yang bukan saja memisahkan dirinya dengan gereja lain, malah juga memisahkan dirinya dengan realitas sosial yang mengitarinya.
Pertanyaan mendasar setelah 72 tahun berdiri, apakah tembok-tembok itu telah sirna ataukah ada arus balik yang makin memperkokoh tembok tersebut? Apakah gereja semakin menyatu dengan realitas yang mengitarinya atau makin asyik dengan kenikmatan ritus-ritus ibadah dan hidup bagaikan getho?
Panggilan gereja yang tak pernah berubah adalah untuk “pergi” dan “menghasilkan buah”, yakni: keluar dari tembok-temboknya untuk bersama-sama melayani dunia ini.
Ketika Kristus memanggil umatNya, tidaklah dimaksudkan untuk diam di sekitar tembok gereja dan asyik sendiri menikmati kekusyukan doa atau kesyahduan kidung-kidung pujian semata. Kristus memanggil justru untuk pergi keluar dari tembok-tembok gereja; mengutus ke dunia ini menghadapi ragam persoalan kehidupan umat manusia.
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7), merupakan amanat Tuhan kepada bangsa Israel di pembuangan; dimana mata, hati dan pikiran mereka selalu tertuju ke Jerusalem. Seruan Yeremia ini adalah ajakan untuk tidak pasif dalam menghadapi realitas dimana mereka berada, sebaliknya harus aktif mensejahterakan masyarakatnya. Ajakan yang sama juga berlaku kepada gereja-gereja di Indonesia, untuk aktif mengusahakan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya kesejahteraan sendiri.
Dalam kerangka itulah perayaan Bulan Oikoumene tahun ini hendak mengingatkan kita akan tekad gereja-gereja mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia sebagaimana dinyatakan pada pembentukan DGI, 25 Mei 1950. Mengingatkan kita untuk senantiasa berusaha membuka diri satu terhadap yang lainnya dan terus berjalan bersama dalam arak-arakan oikoumene. Gereja-gereja berusaha menampilkan kesatuan yang utuh, sehingga kesaksian dan pelayanannya dapat diwujudkan lebih nyata di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Pesan Bulan Oikoumene 2022 dalam rangka mensyukuri 72 tahun arak-arakan perjalanan bersama gereja-gereja di Indonesia mengajak semua gereja untuk sedia keluar dari getho dan “Sehati Sepikir untuk Kepentingan Bersama” Itulah komitmen bersama meresponi Doa Yesus di taman Getsemani adalah: “Supaya mereka semua menjadi satu….agar dunia percaya” (Yohanes 17:21). Dan hendaknya frase Ut Omnes Unum Sint (supaya mereka semua menjadi satu) ini tidak kita lepaskan dari tujuannya: agar dunia percaya.
Gerakan oikoumene akan kehilangan gregetnya apabila kesatuan itu hanya untuk dirinya sendiri. Dia hanya akan bermakna bila diarahkan bagi dunia ini. Sehingga dimana gereja hadir, di sana hadir daya penebusan Kristus: sehingga yang lama diperbaharui, yang buruk menjadi baik, yang tidak adil menjadi adil, dst.
Oleh karenanya masalah sosial, ekonomi dan politik harus masuk dalam agenda pastoral gereja. Gerakan Oikoumene harus mendesak hati nurani manusia. Itu berarti keterlibatan sosial gereja merupakan bagian integral dari pewartaan gereja, bukan komplementer sifatnya. Sehingga kita harus berani katakan, tidak ada evangelisasi tanpa keterlibatan sosial, dan tidak ada pewartaan iman tanpa perjuangan keadilan.
Di situlah makna terdalam dari kata Oikoumene: mengupayakan satu rumah yang nyaman untuk ditinggali bersama, yakni dunia ini.
Penulis, Ketua Umum PGI