GKJBrayatKinasih, Miliran – Kedamaian dunia beberapa hari belakangan ini terusik oleh pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang dinilai menghina umat Islam dan Nabi Muhammad SAW. Macron mengatakan tak akan melarang pencetakan karikatur Nabi Muhammad SAW, yang sempat menimbulkan kontroversi. Protes dan unjuk rasapun mendunia, termasuk di Indonesia. Lalu bagaimana kita bersikap?
Pendeta GKJ Brayat Kinasih, Sundoyo, SSi., M.B.A., dalam kotbahnya, Minggu, 1 November 2020 menyinggung masalah ini, dikaitkan dengan tema kotbah tentang Kerendahan Hati. Pak Sun menjelaskan, kerendahan hati itu adalah kesediaan mendengar dan memahami pihak lain.
Terkait pernyataan Presiden Macron, beliau meminta kita agar mengerti betul perasaan umat Muslim yang merasa tersinggung dan terhina. “..temen-temen kita muslim itu sangat menjunjung tinggi Nabi Muhammad, SAW dan Al Qur’an. Itu sesuatu yang tidak boleh tersentuh, tidak boleh disepelekan, dan harus sangat terhormat dan dikhususkan, betul-betul khusus, tidak boleh main-main soal ini, (Nabi Muhammad dan Al Qur’an, red) ditempatkan dengan cara yang sangat-sangat istimewa. Kita harus menghormati cara berpikir, berteologi seperti ini, tidak boleh kemudian sembarangan. Kenapa kita tidak boleh sembarangan, (karena, red) kita menyinggung esensi iman mereka,” jelas Pendeta Sundoyo.
Nah sekarang bagaimana dengan Prancis?, bagaimana dengan Presiden Emmanuel Macron yang menggambarkan kondisi Prancis?. Prancis ini menurut Pak Sun, adalah negara yang paling berat menghadapi masa dimana gereja berkuasa pada waktu itu. Prancis adalah negara sekuler yang paling sekuler.
“Kalau model Amerika, (mereka, red) memisahkan negara dan agama, tapi agama masuk dalam politik. Tetapi kalau di Prancis itu ekstrimnya , semua simbol agama tidak boleh ada di tempat umum. Di sekolah tidak boleh ada, pendidikan agama tidak boleh ada, di semua public area simbol agama tidak boleh,” ujarnya.
Kenapa begitu? karena dulu sejarahnya, ketika gereja berkuasa dan kemudian terjadi perpecahan, warga saling membunuh. Agama yang ditempatkan (pada posisi tertinggi, red) dan tidak boleh dikritik membuat agama jatuh dan kemudian membahayakan kemanusiaan. “Mereka pahit mengalami peristiwa itu, akhirnya mereka memutuskan bahwa agama itu dipisahkan dari negara, dan pisahnya itu betul-betul pisah tidak boleh ada di ruang publik, itu ruang privat, betul-betul privat. Sehingga yang dihidupi adalah kebebasan berpendapat, termasuk mengkritik agama, termasuk mengkritisi Alkitabnya,” terang Pak Sun.
“bahkan ada teman bercerita, di sana itu bisa saja perjamuan kudus terakhir atau ‘the last super’ itu dibuat gambarnya semua yang hadir, semuanya ndak pakai baju. Betul-betul punya kebebasan,” imbuhnya. Karena itu ketika Presiden Macron mengatakan, saya tidak akan menghentikan orang yang membuat karikatur (Nabi Muhammad, red), karena dengan menghentikan hal itu dia akan kehilangan identitas bangunan bangsanya. “Karena ketika menempatkan agama tanpa adanya kritik, itu membuat pahit perjalanan mereka (Bangsa Prancis, red),” jelas Pak Sundoyo.
Pertanyaannya, bagaimana sikap kita? “Sikap kita tidak perlu banyak komentar, tetapi doakan supaya kerukunan umat beragama di dunia ini bisa terpelihara. Kita sudah banyak mengalami perjalanan hidup dan harus menghidupi bangsa, menghidupi dunia ini, bumi ini sebagai rumah bersama, di situlah kerendahan hati, dimana kita menempatkan orang lain dan mau mengerti pihak lain. Kerendahan hati menempatkan Tuhan sebagai pusat, dan kerendahan hati yang menempatkan orang lain sebagai subyek yang perlu kita dengar posisinya, dan kita akan hidup bersama dengan dia,” pungkas Pendeta Sundoyo dalam kotbahnya. (Tim Admin)