Home » Warta Terkini » Mengapa Suliono Menyerang Gereja?

Mengapa Suliono Menyerang Gereja?

( Perirtiwa penyerangan jemaat gereja Santa Lidwina, Minggu 11/02.2018 – tribunnes.com )

GKJbrayatkinasih, Yogyakarta- Mengapa pemuda tanggung itu tiba-tiba menyerang jemaat dan pastur Gereja Santa Lidwina? Keluarga, tetangga dan teman SMA mengenal pemuda itu sebagai sosok yang baik, cerdas, akrab dengan teman-temannya dan rajin beribadah.

Identitas pelaku penyerangan Gereja Santa Lidwina di Slemanm DIY sudah terungkap. Dari penelusuran polisi pelaku diketahui bernama Sulino, seorang pemuda berusia 22 tahun dan masih berstatus mahasiswa. Ia dilahirkan dari sebuah keluarga petani sederhana di Dusun Krajan, sekitar tiga jam perjalanan dari Kota Banyuwangi, Jawa Timur.

Suliono adalah anak ketiga dari empat bersaudara putera pasangan Mistadji dan Edi Susiyah. Keempat bersaudara itu semuanya laki-laki. Namun keempat anaknya itu, saat ini tidak ada yang tinggal bersamanya. Anak pertama dan kedua, kini tinggal di Papua dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan anak bungsunya kini mondok di Kecamatan Genteng Banyuwangi.

Menurut pengakuan Mistadji, lelaki yang bekerja sebagai buruh tani tersebut, Suliono adalah anak yang baik dan rajin beribadah. Setelah lulus SMP, Suliono sempat tinggal dan sekolah di Sulawesi, ikut kakaknya. Namun setelah itu, Suliono memilih untuk kuliah dan mondok di Magelang.

Mistadji mengaku Sulino sempat menelpon dirinya sebelum insiden penyerangan itu terjadi. Dalam pembicaraan singkat itu ia sempat meminta agar anaknya pulang dan tinggal di Banyuwangi untuk menikah. Namun, Suliono menolak permintaan tersebut karena jika menikah, ia ingin menikah dengan bidadari.

“Saya suruh pulang, nikah saja. Tapi enggak mau, katanya mau nikah sama bidadari,” kata Mistadji, ayah kandung Suliono, kepada Kompas.com, Minggu (11/2/2018).

Sementara itu, Mubarok (58), tetangga Suliono yang juga mantan Kepala Desa Kandangan, Minggu (11/2/2018), mengatakan kenal baik dengan keluarga Suliono, bahkan sejak Suliono masih anak-anak.

“Dia rajin beribadah sejak kecil dan sering saya minta untuk mengaji saat ada acara pengajian karena suaranya saat baca Al Quran bagus sekali. Anaknya juga sangat cerdas,” ujar Mubarok.

Saat lulus SMP, menurut Mubarok, Suliono pernah mondok selama enam bulan di Pondok Pesantren Ibnu Sina Genteng Banyuwangi milik KH Maskur Ali, Ketua PCNU Banyuwangi. Namun, Suliono keluar karena mengaku tidak sepaham dengan ilmu yang diajarkan di pondok pesantren tersebut.

“Saat itu dia keluar dan pindah ke Witabonda Morowali, tinggal dengan kakaknya. Namun, karena alasan tidak sepaham dengan kakaknya, dia pindah lagi ke Palu. Saya tahu karena kakaknya selalu berkomunikasi dengan saya dan Suliono juga pernah langsung bilang ke saya kalau enggak sepaham pemikirannya dengan apa yang saya yakini,” jelas lelaki yang tinggal sekitar 200 meter dari rumah keluarga Suliono itu.

Pengakuan yang sama juga diungkapkan teman SMA Suliono yang sempat menjenguknya di RS Bhayangkara, Minggu (11/2/2018). Budi Tri Widodo, satu diantara rekan Suliono sewaktu menempuh sekolah di SMA 1 Wita Ponda, Morowali, Sulawesi Tengah, mengakui bahwa Suliono adalah sosok yang cukup cerdas. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang cukup akrab dengan teman-teman lainnya.

“Sebenarnya dia (Suliono -red) itu orangnya cerdas,” papar Bayu saat ditemui tribunjogja.com, Minggu (11/2/2018) sore. Bahkan, Suliono disebut juga sempat mendapatkan beasiswa dalam menempuh pendidikan kuliahnya di Palu, Sulawesi Tengah.

“Beasiswa juga kan dia kuliahnya,” lanjutnya.

Suliono juga diketahui sosok yang baik. Dirinya banyak membantu kerabatnya.

“Kalau nggak salah, setahu saya terakhir dia juga bantu kakaknya juga, menjahit,” ujarnya.

Kepolisian Banyuwangi telah menggeledah rumah Mistaji yang sederhana, berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah di Dusun Krajan. Polisi juga memeriksa keluarga Suliono di rumahnya, termasuk Solikin, adik kandung Suliono yang saat ini masih kuliah di Banyuwangi.

( Rumah orang tua Suliono di Dusun Krajan, Banyuwangi – tribunnews.com )

Menurut Solikin, dia jarang berkomunikasi dengan kakak kandungnya karena selain kakaknya jarang pulang, dia sendiri mondok di Pondok Pesantren Ibnu Sina.

“Kami tidak pernah diskusi paham apa pun. Jika bertemu, paling ya cuma ngajak shalat berjemaah di mushala. Jarang berkomunikasi,” kata Solikin di hadapan petugas kepolisian.

Sementara Kasat Reskrim Polres Banyuwangi, AKP Shodiq Effendi kepada Kompas.com mengatakan, “Memang dari pengakuan keluarganya dan tetangganya, pelaku ini orangnya tertutup dan jarang bergaul dengan tetangga sekitar. Pelaku terakhir kali pulang ke rumah tahun 2017 lalu.”

Seperti diberitakan sebelumnya, Suliono melakukan penyerangan dengan senjata tajam saat ibadah misa di Gereja Santa Lidwina Bedog, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta, Minggu (11/2/2018) pagi. Akibatnya, tiga umat, seorang romo, dan satu anggota polisi mengalami luka sabetan pedang. Polisi akhirnya melumpuhkan Suliono dengan 2 tembakan di kakinya, dan kini pemuda itu dirawat di sebuah rumah sakit dengan penjagaaan ketat.

Polisi masih menyelidiki, apa motif utama Suliono menyerang jemaat dan pastur Gereja Santa Lidwina. Polisi juga berusaha mendalami apakah penyerangan itu dilakukan atas inisiatif sendiri ataukah karena dorongan orang lain atau kelompok tertentu. (Sumber: tulisan dikumpulkan dari tribunnews.com)