GKJbrayatkinasih, Jakarta- Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) bersama majelis-majelis agama melaksanakan Musyawarah Besar (Mubes) Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa pada 8-10 Februari 2018, di Grand Sahid Jaya Hotel Jakarta, dengan mengusung tema “Rukun dan Bersatu, Kita Maju”
Prof. Dr. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, atau Din Syamsuddin, dalam pidato pembukaan Mubes, Kamis (8/2/2018) menegaskan, bahwa Kerukunan di Indonesia relatif baik meski di sana-sini ada potensi konflik. Situasi kerukunan berjalan baik, menurutnya dikarenakan dua hal. Pertama, agama, sejatinya yang hadir di Indonesia, menekankan kepada prinsip kerukunan dan perdamaian. Kedua, bangsa Indonesia sejak awal jauh, bahkan jauh sebelum kemerdekaan, sudah memiliki kesepakatan-kesepakatan seperti Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Kedua modal inilah yang mempersatukan kita sebagai bangsa. Meski terjadi konflik tapi agama bukan faktor utama, hanya bernuansa agama. Tetapi sesungguhnya sumbernya adalah masalah sosial, ekonomi dan politik, sementara agama hanya dijadikan justifikasi untuk konflik,” tandasnya.
Lebih jauh Din mengatakan; “Meski agama memiliki perbedaan dalam tataran teologis, namun diakui ada titik temu dalam kemanusiaan dan kemasyarakatan. Namun Mubes ini tidak bermaksud menyamakan perbedaan dan tidak ingin menyatukan perbedaan. Sebab kita masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini ditakdirkan untuk dapat hidup bersama.”
Din berharap, kegiatan yang dirancang untuk menjadi ajang silaturahmi, menjalin kasih, dialog dari hati ke hati, dan bertumpu kepada ketulusan dan keterbukaan ini, dapat menyelesaikan berbagai persoalan terkait kerukunan hidup antar agama.
Pembukaan Mubes Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa ditandai dengan pemukulan gong oleh pimpinan majelis-majelis agama, dan dilanjutkan dengan penyampaian pesan kerukunan. Pada kesempatan itu, mewakili Kristen Protestan Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang, Ketua Umum PGI mengatakan bahwa tidak dapat dipungkiri bangsa Indonesia terbangun oleh kesadaran akan realitas kemajemukan, kemajemukan suku, agama, ras, kultur dan sebagainya. Dalam pembentukan bangsa ini, kepelbagaian itu justru dilihat sebagai suatu kekayaan yang tak ternilai.
“Dalam rentang sejarah perjalanan bangsa, perjumpaan antar ras, etnis, dan agama tersebut turut menyumbang dalam pembentukan identitas bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan kearifan dari berbagai latarbelakang tersebut terbangun suatu masyarakat yang harmonis dan saling menghargai di tengah kepelbagaian,” ujarnya.
Ketua Umum PGI menambahkan, salah satu yang mampu mengikat masyarakat harmonis di tengah kemajemukan tersebut adalah semangat toleransi. Semangat toleransi ini telah melahirkan kerukunan di tengah-tengah kepelbagain tersebut. Namun disayangkan, tahun-tahun terakhir ini, kehidupan rukun dan saling menghargai itu sedikit banyak terusik dengan semakin mengentalnya semangat intoleransi, yang disinyalir sebagai pengaruh dari paham-paham transnasional, yang ada hampir dalam semua agama di dunia ini. Sebagai akibatnya, kita sangat prihatin dengan terjebaknya masyarakat pada pola hidup sektarian, fanatis, dan fundamentalis. Ada kecenderungan sebagian masyarakat hidup ekslusif dan menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar.
“Sebab itu, kami berharap Mubes ini akan menggugah kembali komitmen kebangsaan kita, sehingga semangat para pendiri dan pejuang bangsa mengatakan, seratus persen Katolik, atau Islam, atau Kristen, atau Hindu, atau Budha, atau Konghucu, sekaligus seratus persen Indonesia,” tegas Pdt. Ery, biasa dia disapa.
Sementara itu, Dr. Anwar Abbas, Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, kerukunan itu berdasarkan kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan tersebut patut dijaga dan dihargai. Bangsa Indonesia, lanjut Anwar, telah memiliki pengalaman yang panjang dalam mengelola kehidupan antar umat beragama. Perjalanan panjang tersebut telah terbukti mampu menciptakan bangsa kita menjadi bangsa yang rukun dan damai.
“Sebab itu, tugas kita selanjutnya adalah bagaimana kita dapat mempertahankan dan merawat kerukunan dalam kehidupan antar umat beragama tersebut. Agar kondisi ini dapat dijadikan modal sosial dalam melaksanakan pembangunan yang kita rencanakan agar terwujud keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya.
Mubes yang diikuti 450 orang pemuka dan tokoh agama baik dari pusat maupun daerah, baik yang mewakili majelis agama dan ormas keagamaan ini, akan membahas tujuh pokok persoalan, yaitu pandangan dan sikap umat beragama tentang NKRI yang berdasarkan Pancasila, pandangan dan sikap umat beragama tentang Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, pandangan dan sikap umat beragama tentang pemerintahan yang sah hasil pemilu, prinsip-prinsip kerukunan antar umat beragama, masalah penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah, solusi terhadap masalah intra agama, serta rekomendasi tentang faktor-faktor non agama yang mengganggu kerukunan antar umat beragama.
Puncak dari penyelenggaraan Mubes yaitu perayaan World Interfaith Harmony Week, kegiatan yang merupakan agenda PPB, di Plenary Hall JCC, Jakarta, Minggu (11/2/2018). (Sumber:pgi.or.id)