Papa saya seorang pendeta, dan satu ketika Papa dipercaya menjadi ketua wilayah (untuk wilayah halmahera timur). Mungkin bagi orang lain sebuah jabatan menjadi hal yang membanggakan, tapi tidak bagi saya, karena saya tahu bahwa dengan tanggung jawab yang besar itu akan membuat kami jarang berte. Mengapa demikian? Karena jarak tempuh medan pelayanan yang jauh, serta Papa yang hanya bermodalkan sebuah sepeda butut dan uang jalan yang di tanggung sendiri (pada waktu itu). Sering terjadi, Papa pamitan pada bulan januari, dan akan bertemu lagi di bulan maret, seminggu di rumah dan setelah itu akan melanjutkan perjalannya.
Ketika Papa pulang, akan menjadi hari yang membahagiakan untuk saya dan kedua kakak saya. Tapi kami sadar bahwa kebahagiaan itu tidak akan lama, setelah beberapa hari di rumah, sudah wajib hukumnya Papa harus pergi lagi. Semakin lama Papa di rumah, maka akan semakin lama juga Papa pergi nantinya.
Momen makan dengan keluarga lengkap sangat asing bagi kami. Kehidupan seperti ini kami jalani kurang lebih selama 7 tahun.
Saat itu saya berpikir bahwa Papa hanya menyayangi orang lain tidak untuk keluarganya sendiri.
Setelah dewasa saya pun masuk sekolah teologi, sekolah yang nantinya akan membuat saya seperti Papa yang sukanya meninggalkan keluarga. Kebetulan dalam satu mata kuliah kami ditugaskan menanyakan tentang kehidupan keluarga di masa lalu. Saya baru sadar betapa berharganya pelayanan yang Papa lakukan dan berikan untuk saya.
Papa pelayanan di gereje-gereja kecil di pelosok Halmahera Timur, Papa bisa melayani di sebuah gereja pagi ini dan setelah itu akan melanjutkan perjalanan ke gereja lainnya dengan jarak tempuh yang sangat-sangat jauh. Apabila malam tiba, dan Papa masih di perjalanan maka Papa akan menyiapkan perlengkapan tidurnya (sebuah selimut tipis untuk alas dan jaket sebagai bantal) dan Papa akan tidur di mana saja (di hutan, di dekat pantai, atau di manapun).
Setelah pagi, Papa kembali melanjutkan perjalanannya pergi ke gereja selanjutnya mengendarai sepeda bututnya, (tapi bisa juga jalan kaki sambil menuntun sepedanya karena sepedanya bermasalah). Ketika sampai di tempat tujuan, di beberapa gereja Papa akan melayani sendiri, karena jemaat tersebut tidak bisa baca maka mereka tidak berani dipilih menjadi majelis.
Saya kemudian bertanya, apa alasan Papa melakukan itu semua? Kan bisa juga menjadi pendeta yang tidak ‘menderita’ melayani yang sepantasnya?
Jawabannya : Papa tidak punya apa-apa untuk diberikan pada keluarga, anak-anak Papa dan cucu-cucu Papa nantinya, yang bisa Papa berikan dan tinggalkan hanya sebuah pengalaman dan bakti Papa saat melayani, sehingga harapan Papa, ‘harta’ yang Papa tinggalkan ini dapat dipakai untuk anak-cucu Papa dikemudian hari ketika mereka sudah masuk dalam dunia pelayanan. Dan Papa tahu sejak kecil ada satu anak Papa yang juga berkeinginan menjadi pendeta, maka sudah menjadi tugas Papa untuk mengajarkan bahwa menjadi pendeta adalah “melayani” hanya itu saja tidak ada yang lain.
Saya yakin para orang tua yang juga sedang membaca tulisan ini memiliki pemikiran yang sama, bahwa pekerjaan yang mereka lakukan saat ini adalah untuk anak mereka, itulah bukti sebuah cinta yang mungkin sederhana tapi penuh dengan pengorbanan.
Saya akan tutup tulisan ini dengan sebuah lagu :
“kasih itu lemah lembut, Sabar, sederhana..
Kasih itu murah hati, Rela menderita.”
Selamat melayani para orangtua-orangtua di luar sana, kalian luar biasa bagi keluargamu.
Tulisan dari : Mike Makahenggang, M.Si.
Terima kasih atas kesaksian kak Mike
Siap-2 utk menjadi Pendeta Jemaat…☺
GBU
Saya salut dan memberikan apresiasi yg tinggi akan perjuangan papa mbak Mike atas pelayanannya yg mewujud-nyatakan persembahan hidup untk kemuliaan Tuhan TYM