GKJbrayatkinasih, Miliran- Penggunaan kata Rekonsiliasi bukan kata yang tepat untuk menyelesaikan peristiwa kelam di tahun 1965. Sebab tidak ada Rekonsiliasi dengan Partai komunis. Partai PKI dan ideologi Marxisme-Leninisme tetap harus dilarang.
Demikian ditegaskan Budayawan Katolik Romo Franz Magnis Suseno dalam diskusi bertajuk Gereja dan Rekonsiliasi Peristiwa 1965, di Grha Oikoumene, Jakarta, Rabu (18/10).
“Yang penting pengakuan sebagai korban, pengakuan terhadap apa yang terjadi, bukan meminta maaf kepada PKI. Tapi bagaimana ribuan atau ratusan ribu orang yang menjadi korban, juga jutaan yang ditangkap. Ada banyak keluarga-keluarga korban yang hancur karena mendapat stigma, dan lainnya. Sebab itu yang pertama harus dituntut adalah pengakuan sebagai korban,” katanya.
Apa yang dilakukan pemerintah di tahun 1965 dengan membubarkan PKI, lanjut Magnis, sudah benar. Meski demikian, dia juga mengingatkan agar kita tidak perlu terlalu mengutuk mereka yang terlibat dan ditangkap. Yang penting adalah menata masa depan bangsa.
Sementara itu pembicara lain dalam diskusi ini, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI Letjen (Purn) Agus Widjojo menegaskan, Rekonsiliasi bukan menggantikan proses pengadilan, dan bukan mencari siapa yang salah atau benar. Tetapi untuk meluruskan kembali.
“Sistem keadilan yang digunakan adalah mengungkapkan kebenaran untuk mengambil pelajaran guna memulihkan harkat dan martabat manusia dalam masyarakat baru Indonesia yang telah berdamai dengan masa lalunya. Rekonsiliasi tidak dapat dilaksakan dengan pengadilan tapi melalui kerelaan hati. Dan perlu penghancuran mitos-mitos masa lalu, semisal mitos saya adalah korban, dan negara tidak pernah salah,” jelasnya.
Menurut Agus, masyarakat Indonesia masih sulit melakukan Rekonsiliasi karena terjadi polarisasi. Satu pihak dalam frame keluarga PKI sebagai korban sementara pihak lain dikuasai oleh frame ideoligi bahwa negara tidak mungkin salah.
Diskusi yang digagas oleh MPH-PGI berjalan alot. Terbukti dengan begitu banyaknya pertanyaan yang dilontarkan kepada kedua nara sumber. Diantaranya pertanyaan yang mengarah kepada perlukah sikap forgive and forget (memaafkan dan melupakan) terkait peristiwa yang hingga kini masih menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat.
Menurut Romo Magnis, kebenaran tetap perlu diangkat, dan kita tidak boleh melupakannya begitu saja. Sebab itu, semua pihak perlu diberikan ruang untuk bicara sehingga ada kata maaf. “Manusia harus mampu memaafkan, dan masing-masing yang terlibat harus saling memberi maaf,” tandasnya.
Sedangkan Agus melihat akan selalu ada perbedaan karena masing-masing memiliki versinya sendiri. Meski demikian tetap harus ada upaya lewat satu pintu Rekonsiliasi untuk mengungkap kebenaran sejarah. Memang tidak mudah sebab itu diperlukan kesepakatan.
“Pelurusan sejarah tidak akan mungkin terjadi, karena itu tidak mungkin sampai pada kebenaran yang objektif. Karena itu yang paling bisa dilakukan adalah kesepakan yang dapat mencapai kedekatan pada kebenaran,” ujarnya. (Sumber: PGI.or.id)