Home » Artikel » Topi Saya Bundar

Topi Saya Bundar


Topi saya bundar
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Itu bukan topi saya

Itulah syair lagu yang pertama diajarkan oleh istri saya kepada anak perempuan kami. Dengan gaya tangan dan gelengan kepala yang senantiasa sama serta ekspresi senyuman, membuat Bintang pasti tersenyum bahkan bisa ‘ngekek’ .  Tawa itu membuat ibunya semakin bersemangat untuk menyanyikannya lagi. Ditambah dengan penekanan suara, gerakan serta ekspresi membuat bayi yang masih hitungan bulan itu semakin terlihat lucu dan gembira.

Lagu ini juga menjadi andalan saya  untuk menarik perhatiannya. Saya akan bergaya seperti ibunya, benyanyi dengan ‘suara perak’ saya dan bergaya seperti seorang guru baru di kelasnya. Bersyukurlah karena semua usaha itu selalu berhasil menarik perhatian anak kecil yang sudah kami nantikan lebih dari empat setengah tahun.

Karena sering menyanyikan lagu itu, pikiran ini menjadi tidak pernah lepas dari lagu yang biasa dinyanyikan, dan sepertinya semua orang Indonesia juga bisa menyanyilan lagu ini. Sampai suatu sore saat duduk dan mendengar istri bernyanyi, membuat saya berfirkir bahwa lagu itu mengajarkan makna yang sangat dalam. Saya membayangkan bahwa topi itu banyak jenisnya, ada yang bundar, kotak, segi tiga, segi lima dan banyak bantuk yang lain. Sejak kecil kita belajar bernyanyi tentang mana yang menjadi milik kita.

Penggalan kata yang awal adalah ‘topi saya bundar’ dan  penegasan ‘bundar topi saya’. Syair kemudian dilanjutkan dengan pengakuan penting bahwa ‘kalau tidak bundar, itu bukan topi saya’. Kesadaran milik bahwa yang punya saya adalah yang ‘bundar’ jadi kalau ada topi yang tidak bundar itu milik orang lain dan pastinya bukan milik saya. Mari kita mengganti kata ‘topi’ dan ‘bundar’ dengan kata yang lain. ‘Topi’ menjadi wakil apa yang kita miliki sendangkan ‘bundar’ merupakan ciri khusus dari apa yang menjadi milik dan hak kita. Topi itu bisa kita ganti dengan istri atau suami, gaji dll. Mari menyanyikannya supaya kita mengingat mana yang menjadi milik dan hak kita.

Istri saya bisa bernyanyi seperti ini, ‘bojo saya botak, botak bojo saya. Kalau tidak botak bukan bojo saya’. Dia sadar bahwa bahwa banyak orang yang cakep, banyak rambutnya tapi suaminya adalah Sundoyo yang botak, jadi tidak perlu mencari laki-laki lain yang berambut tebal. Saya juga bisa membalas dengan nyanyian ini, ‘bojo saya bundar, bundar bojo saya, kalau tidak bundar bukan bojo saya’. Walaupun istri saya tidak ‘bundar’ tapi sudah cukup untuk memberikan candaan bersama bahwa kita tahu siapa pasangan kita dan apa yang menjadi cirinya sehingga tidak perlu menganggap orang lain yang mungkin lebih cakep atau lebih cantik menjadi pasangan kita.

Semoga banyak suami dan istri menyanyikan lagu ini. Bersenandung bersama, tertawa bersama dan merasakan energi kegembiraan bersama ditengah hangatnya ruang keluarga. Serta membara dikamar berdua.

Kita juga bisa menganti kata topi dengan kata gaji, kata bundar dengan menyebutkan jumlahnya dan kita bernyanyi bersama : ‘Gaji saya segini, segini gaji saya. Kalau tidak segini bukan gaji saya’. Kita tahu berapa yang mejadi hak dan milik kita, pendapatan yang sah yang memang menjadi milik kita. Apakah ini sulit untuk dilakukan ? Mungkin juga ya, karena kita punya banyak kesempatan mendapatkan apa yang melebihi hak kita dan sepertinya semua orang juga melakukannya. “Ah… masak saya kalah kaya dengan orang yang golongan III A”.

Lagu yang bisa sekali kita nyanyikan. Kita ajarkan kepada anak-anak kita dari generasi ke generasi, kemudian terlupakan saat kita pemuda dan dewasa, diganti dengan senandung kehidupan yang mengingkari nilai mendalam dari lagu yang membuat ceria disaat kita kanak-kanak. Sebuah pesan penting tentang tahu akan hak dan milik kita dan sadar bahwa memang banyak hal di kehidupan ini harus kita berikan atau biarkan diambil oleh mereka yang berhak memilikinya.

Seperti dalam Sabda Tuhan, Ijil Yohanes 3 : 14b, ‘Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu’. Hal ini juga senada dengan Sabda Tuhan yang terambil dari Surat Ibrani 13 : 5a, ‘Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu’.
Mari sekarang kita seluruh bangsa bernyanyi :
Topi saya bundar
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Itu bukan topi saya

Oleh : Pdt. Sundoyo
GKJ Brayat Kinasih