Tidak muat lagi….. itulah rasanya hati ini ketika mendengar bahwa gunung anak Krakatau menggeliat, memberikan acaman bagi kehidupan. Sudah tidak ada tempat lagi bagi hati ini untuk menyaksikan bahwa ada puluhan gunung di Indonesia yang mulai menaikkan status mereka. Debu masih menempel di daun-daun tanahan depan rumah. Masker yang sudah tebal dengan debu vukanik belumlah disingkirkan dan sepertinya akan banyak masker yang lain yang dibutuhkan di tengah-tengah ancaman yang ada.
Bagaimana kita harus melihatnya…. bagaimana kita harus menceritakan kepada anak-anak cucu kita tentang segala penderitaan dan sekaligus juga akan iman yang tetap teguh bahwa Tuhan semesta alam adalah sumber segala kebaikan. Bagaimana dengan Marapi, kenyataan yang paling dekat dengan hidung kita sendiri.
Di dalam buku Mata Air Bulan, Sindhunata merefleksikan iman dari orang-orang miskin yang sederhana di daerah sekitar lereng Gunung Merapi, ketika dia bertugas sebagai imam di antara mereka. Buku ini merupakan salah satu dari buku-buku yang sangat mengharukan yang pernah saya baca. Gunung Merapi merupakan pusat refleksi dari penduduk tersebut.
“Mbah Merapi menakutkan tetapi juga penuh dengan cinta terhadap penduduk desa. Mbah Merapi berada jauh di kratonnya, yang tak terhampiri oleh manusia, tetapi Mbah Merapi juga selalu datang dan mendekati manusia. Memberikan kesuburan dan kehidupan bagi manusia. Dengan laharnya dan letusannya yang mematikan, Mbah Merapi menuntut korban manusia, tetapi Mbah Merapi juga membalasnya dengan rejeki alam berlimpah-limpah.
Kami mendengar lagi gemuruh dari Gunung Merapi. Kami merasa Tuhan itu seperti Mbah Merapi : Tuhan itu dahsyat tapi indah, Dia mematikan tetapi juga menghidupkan, Dia jauh tetapi dekat, Dia menuntut banyak tetapi juga memberi dengan murah hati, Dia kaya raya tetapi juga sangat sederhana. (Seperti yang dikutip oleh Prof. Pdt. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D dalam tulisannya : “Allah dan Penderitaan di Dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia” dalam buku : Teologi Bencana).
Inilah penggalan refleksi tentang Mbah Merapi, pemberi kesusahan yang mematikan namun sekaligus memberikan daya kehidupan yang melampaui semua kerusakan yang ditimbulkan. Banyak ancaman bencana yang ada di sekitar kita, potensi yang terkandung dalam bumi Indonesia. Semuanya akan menghampiri kita tanpa terlebih dahulu ijin dengan kita. Kita tidak punya kuasa untuk mencegahnya. Namun persoalan seberapa banyak yang akan menjadi korban, bagaimana dampaknya bisa diperkecil, kita punya kemampuan untuk melakukannya. Kita bertanggung jawab meminimkan korban yang ditimbulkan.
Geserkan sedikit kaki, julurkan sedikit leher dan mari sekarang kita belajar dari peristiwa yang mematikan itu. Saat tanda dibunyikan bahwa segera mengungsi, maka kita melihat banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri. Meninggalkan rumahnya, meninggalkan ternaknya, meninggalkan semua hal yang menjadi hak miliknya. Hanya membawa apa yang bisa dibawa. Di sinilah kita menemukan makna akan kehidupan. Keselamatan lebih penting dari pada apapun yang kita kumpulkan dalam kehidupan ini.
Tuhan bersabda kepada orang kaya yang bodoh, yang mengumpulkan harta benda tanpa peduli untuk hidup dalam cara yang benar. Kemudian kematian menjemput, untuk apakah semua harta yang kau kumpulkan itu, hai orang kaya yang bodoh. (Lukas 12 : 13 – 21). Harta bukanlah tujuan dan kalau kita menempatkan harta sebagai tujuan maka kehidupan ini akan menjadi terjungkir tidak karuan. Tujuan kita adalah Tuhan, mari menempatkan itu sungguh-sungguh sebagai arah kehidupan kita.
Namun dalam berita kita menyaksikan ada seorang simbah yang tidak mempedulikan keselamatan nyawanya sendiri dan bertekat untuk tidak mengungsi. Berita tentang beliau setinggi awan panas yang membumbung ke angkasa. Mencengangkan setiap keharusan pikiran kita. Namun sekali lagi mari kita belajar dari Si Mbah ini. Menggema dalam ruang batin kita bahwa beliau setia sampai maut menjemput untuk menjalankan tugas hidupnya, setia sampai bersimpuh tak bernyawa untuk menunjukkan kesetiaan terhadap komitmennya mejalankan tugas. Bertanggung jawab penuh pada apa yang sudah diucapkan dikala bersedia memangku jabatan.
Inilah gema yang menggelegar bersama dengan hujan abu yang menyelimuti Yogyakarta. Mengingatkan kita akan banyak komitmen yang kita ucapkan, mengajarkan akan arti kesetiaan akan janji yang pernah diucapakan. Gema itu melaju dan menyergap setiap suami atau istri untuk tetap setia dengan janji pernikahannya, menyelimuti batin setiap orang tua untuk berkomitmen memberikan teladan hidup bagi anak-anak pewaris jaman. Mengguncang kursi para pejabat yang mungkin terlena dengan dinginnya ac ruangan, melupakan atau terlupa dengan janji saat serah terima jabatan.
Kita bisa mengembangkanya sendiri ke dalam seluruh sendi kehidupan keluarga dan bangsa kita, akan sebuah kesungguhan hati memegang tanggungjawab sampai mati. Sebuah gema yang menggelegar bersama dengan dahsyatnya Si Mbah Merapi dan Si Mbah yang telah mati.
Rengungkanlah sabda ini, 1 Samuel 26:23 “TUHAN akan membalas kebenaran dan kesetiaan setiap orang”. O ya.. satu yang terakhir : Janganlah berita tentang si mbah ini dan siapa penggantinya mengalahkan berita dan perhatian kita kepada para korban. Selamat melayani mereka yang membutuhkan bantuan. Lihatlah Tuhan sedang mengantri makanan bersama para korban.
Oleh: Pdt. Sundoyo
GKJ Brayat Kinasih