Home » Artikel » “Rejekine Bocah”

“Rejekine Bocah”


“aduh…. aduh…. mas,  sakit”. Inilah rintihan seorang wanita yang baru dinobatkan menjadi seorang ibu. Ia masih harus menjalani perawatan setelah proses kelahiran normal. Bintang Kinanti Anugraheni, menjadi prasasti akan pengharapan yang cukup panjang, jawaban dari doa dan upaya, doa bagi masa depan sebagai pewaris berkat dan rahmat Tuhan. Sesekali saya menggelengkan kepala untuk menghilangkan rasa pening karena bangun terlalu pagi, saya terbangun karena rintihan pasien di sebelah saya. Saya tidak bisa tidur lagi dan lebih baik saya gunakan waktu untuk menulis bagi para sahabat.

Empat tahun lebih, kami harus menunggu. Semua terasa lepas saat waktu menunjukan pukul 11.25 wib, pada tanggal 6 Agustus 2009. Saya menunggui saat-saat kontraksi mengejangkan tubuh perempuan berambut tebal itu. Tangan saya terasa sakit saat ia harus meremas. Saya berusaha membantu memberi kekuatan dan dukungan.  Wah ini…. dasar ini orang ngantuk, makanya ngomongnya ngalor ngidul.

Satu hal yang ingin saya bagikan. Kami merasa bahwa anak ini membawa rejeki yang luar biasa bagi orang tuanya. Banyak jalan berkat yang dibukakan dan kemudahan yang terasakan membuat kami merasa senang untuk menyambut kelahirannya. Saya sempat cerita akan berkat ini kepada bapak. Seorang petani di ujung perbatasan antara kabupaten Jepara, Demak dan Kudus. “Pak, rejekine putumu ki gede” (Pak, berkatnya cucumu itu besar), kata saya sambil menuangkan teh poci. Sejurus kemudian saya menunjukan fakta-fakta empiris untuk mendukung pernyataan itu.

Sambil tersenyum sedikit, pria botak itu berkata : “Podo karo kowe”. (Sama dengan kamu). Sambil makan pisang bakar, beliau melanjutkan cerita pengalamannya tentang kelahiran saya. Pikiran kami bertemu di pematang sawah, sungai kering saat kemarau, banjir saat hujan dan barisan pepohonan di sepanjang jalan menuju kota.

Selesailah acara makan malam bersama dan kamipun pulang. Di perjalanan, tangan yang kuat khas petani menepuk pundak. Ada yang dikatakan bapak kepada saya…. tapi apa, saya tidak mendengar. Angin dan suara knalpot motor saya sudah mencuri pesan itu. “Apa pak ?”, kata saya supaya beliau bisa mengulangi perkataannya lagi.

Dengan suara yang lebih keras beliau berkata : “Mas, kowe kudu eling. Saben bocah kuwi nggowo rejekine dewe-dewe. Neng kudu ati-ati leh ngecakke. Ojo dianggo kesenengane wong tuwone amarga kuwi rejekine anak”. (Mas, kamu harus ingat. Setiap anak membawa berkahnya sendiri-sendiri. Tapi harus hati-hati dalam menggunakannya. Jangan dipakai untuk kesenangan orang tuanya karena itu miliknya anak).

Dalam perjalanan itu bapak melanjutkan cerita ketika saya lahir. Banyak petani yang panennya berhasil tapi tidak banyak yang menyadari bahwa itu adalah milik generasi yang kemudian. Saya bersyukur karena punya orang tua yang menyadari bahwa itu semua adalah berkat Tuhan bagi anak-anak. Orang tua saya tidak menggunakan untuk kesenangannya sendiri namun menjadi berkat sampai anak-anak besar bahkan kelak ketika mereka pergi.

Pelajaran sederhana yang menggugah hati. Kesadaran bahwa Tuhan senantiasa memberikan berkat bagi anak-anakNya. Ia menitipkan kepada orang tuanya supaya disampaikan kepada anak-anaknya. Setiap hal yang dititipkan tentulah harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang mempunyai berkat itu.

Kesalahan besar yang dilakukan oleh orang tua adalah mereka merasa bahwa berkat yang menyertai kehadiran seorang anak merupakan hasil dari jerih payah. Sehingga menjadi sembrono dalam menggunakan berkat tersebut untuk kesenangannya sendiri. Hal yang seperti ini menjadi cara yang kurang bertanggung jawab karena kalau berkat itu adalah milik anak maka setiap orang tua harus memberikan hak itu kepada anak-anaknya.

Teks Firman Tuhan dalam Mazmur 107:15,  “Biarlah mereka bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia”. Mengingatkan kita bahwa Tuhanlah yang mengerjakan banyak karya, perbuatan-perbuatan ajaib serta barkat bagi anak-anak. Kita patut bersyukur kepada Tuhan dengan cara mengelola berkat itu dengan sebaik mungkin.

Oleh: Pendeta Sundoyo
GKJ Brayat KInasih, Yogyakarta


1 Comment

Comments are closed.