Teks Roma 8:14 menyampaikan kepada kita bahwa : “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah”. Sebutan anak Allah menjadi sesuatu yang luar biasa. Bayangkan saja kalau kita jadi anaknya bupati atau gubernur bahkan presiden pasti bangganya bukan main. Kita bahkan menyebutkan itu sebagai status yang prestisius. Karena posisi yang luar biasa ini, sering juga diakui bahwa posisi anak Allah adalah status tertentu dan hanya untuk orang tertentu saja.
Pencerahan baru bagi saya ketika menghadapi istri yang hamil. Kami memang sudah cukup lama menanti anak pertama kami. Apalagi setelah mengalami keguguran karena tiga virus yang menduduki benteng pertahanan tubuh sang calon ibu.
Kehamilan yang ditunggupun akhirnya datang dengan segala macam variasi gangguan kehamilan yang menyertai. Ketika usia kehamilan sekitar 5 bulan, nampak riak wajah perempuan berambut tebal itu sudah jernih karena bisa merasakan gerakan bayi dalam kandungan.
Itu semacam miss call yang selalu memberi tanda bahwa masih ada kehidupan dalam kandungan. Namun suatu pagi yang dingin karena gerimis hujan, saya dibangunkan suara tangisan. Tangisan dari sebelah guling saya.
Istri saya menangis, kata dalam hati saya, ada apa ini ? sakit apa dia ? semua bergejolak dalam benak saya. Pikiran saya langsung membuka file ketika kami menghadapi berita dari dokter bahwa jantung anak kami sudah tidak berdetak 3 tahun yang lalu.
Sambil menangis ia mengatakan kalau sudah dua hari ini anak dalam kandungannya tidak bergerak. “mas… iki piye. Anaknya ndak bergerak sama sekali, jangan-jangan ia …” kalimatnya terhenti oleh tangisan yang disertai pecahnya selaput penampung air mata.
Saya bingung harus berbuat apa. “ayo berdoa”, sergap saya menghadapi kepanikan di pagi sunyi itu. Kami tertunduk dalam keheningan, masuk dalam ruang kekudusan Tuhan.
Kami menyadari tidak punya kuasa dan hak terhadap kehidupan anak ini. Kami hanya bisa memohon kalau Tuhan ijinkan, kami bisa momong anak ini. Saat kami berdoa, tangan saya diguncang gerakan besar dibalik kulit perut istri.
Ia berhenti menangis dan gantian sekarang aku yang menangis. Tangisan keharuan dan ucapan trima kasih kepada Tuhan empunya hidup.
Peristiwa besar yang kedua, saya alami ketika usia kandungan masuk pada usia bulan ketujuh. Saat pagi hari saya dikejutkan dengan teriakan dari kamar mandi. Ada darah keluar saat buang air besar, itulah penjelasan singkat peristiwa yang menguras tabungan emosi kami.
Dalam sejurus kami sudah berada di rumah sakit dan memang harus beristirahat di sana. Saya sadar betul bahwa anak itu hadir di tengah keluarga karena Tuhan mengijinkan ia hadir dalam kehidupan kita.
Pengalaman hidup ini menolong saya untuk mengerti bagaimana menjadi Anak-Anak Allah. Yang pertama, membawa kesadaran kepada kita bahwa setiap anak yang hadir dalam hidup kita adalah milik Tuhan. Kalau semua anak yang lahir adalah anak Tuhan, sangatlah penting untuk kita sadari bahwa semua orang manjadi satu saudara. Dan menjadi keniscayaan bila sesama saudara itu saling mencintai dan mengasihi.
Anak-anak hadir sebagai titipan yang diberikan kepada kita, yang kemudian harus kita pelihara dan kita pertanggungjawabkan lagi kepada yang punya. Apa yang kita ajarkan dan teladankan akan membentuk mereka dan semua yang kita ajarkan itu harus mencerminkan Tuhan yang empunya mereka.
Seorang penyair mengatakan bahwa mereka adalah mata panah milik Tuhan dan kita adalah busurnya. Jadilah busur yang merentang kuat.
Hal kedua, pengertian menjadi Anak-Anak Allah merupakan kondisi mental yang membanggakan. Sama seperti ketika kita mengatakan anaknya bupati, kita akan berani menghadapi masalah karena kita yakin kalau bapak kita pasti menolong.
Kebanggan yang disertai rasa percaya diri dalam menghadapi masalah hidup yang kita pikul. Apapun masalah yang kita hadapi ingatlah bahwa kita adalah anak-anak Allah. Kita punya Bapa yang senantiasa menolong kita.
Kita yakin bisa menghadapi masalah karena kita punya kapasitas yang besar seperti Bapa kita. Anak-Anak Allah kondisi batin yang kuat menghadapi masalah dan kondisi hati yang kokoh dalam menyelesaikan semua persoalan hidup.
Hal ketiga, menjadi Anak-Anak Allah merupakan kondisi cara hidup kita yang menampakan kemiripan dengan orang tua kita. Lihatlah anak-anak di sekitar kita, kita bisa mengenali mereka dari perawakan wajah dan atau cara berkata serta bertindak mereka memiliki kemiripan dengan orang tua mereka masing-masing.
Kalau sekarang kita mengaku sebagai Anak-Anak Allah, apakah kita mempunyai ‘kemiripan’ dengan Orang Tua kita ? sehingga semua orang yang melihat kita akan berkata bahwa kita memang Anak-Anak Allah.
Mereka bisa memberikan kesaksian bahwa cara hidup kita mirip dengan Tuhan, Bapa kita. Tuhan yang seperti apa yang kita kenal. Ia yang maha murah, maha kasih, maha mengampuni, maha penyayang.
Kalau Tuhan sebagai Bapa kita seperti itu, apakah kehidupan kita mencerminkan kehidupan yang punya kemiripan seperti itu ? atau jangan-jangan tingkah laku kita sama sekali jauh dari kemiripan dengan ciri Bapa kita sendiri.
Kalau seperti itu maka orang yang melihat akan menjadi ragu. Mengaku sebagai Anak-Anak Tuhan tapi cara hidup tidak mencerminkan kemiripan dengan Bapanya, terus mirip siapa? Jangan-jangan ini anaknya……. ?
Kita semua adalah Anak-Anak Tuhan, yang dilahirkan sebagai bintang…. Bintang yang memancarkan cahaya keteduhan dari Tuhan.
Ditulis oleh:
Pdt. Sundoyo
GKJ Brayat Kinasih
So inspiring..dan menguatkan IMAN
Salam dr Dubai
June 18 00:00
Halo Pak Terry sudah sampai di Jerman kah? Semoga sukses selalu…