GKJBrayatKinasih, Waingapu- Sidang Raya XVII PGI di Bumi Marapu telah usai. Ketua Umum dan seluruh jajaran pengurus PGI telah terpilih dan dilantik. Tugas berat menanti dengan lima keprihatinan yang harus diperjuangkan demi kebaikan bangsa ini. Berikut Refleksi hari ke 6 yang ditulis Pendeta Sundoyo.
Sudah menjadi niatku, aku mau bagun jam 4 pagi. Pagi hari ini aku mau naik ke atas bukit di depan rumah. Alarm berbunyi jam 4, segera aku menghampiri HP dan mematikannya lalu tubuhku terhempas kembali ke kasur. Mata seperti melekat dengan lem ‘aibon’ yang mahal. Tangan terkulai lemah, kaki terasa malas untuk menyangga tubuh. Aku masih mengantuk, ah… cari gambar bagus masih bisa esok hari. Ini bukan hari terakhirku di Bumi Marapu, tetapi ada pemicu daya yang menyentakku. Aku terbangun dan berkata dalam hatiku, carikan gambar yang bagus dan bawakan berita bagi dunia tentang matahari Sumba.
Aku segera bangun, membereskan diri di kamar mandi, dan dengan cepat aku mengambil kain tenun yang diberikan seorang alumni GKJ Brayat Kinasih. Kukenakan sandal jepit yang aku bawa dari Yogya, dan dengan panduan UTM (anak tuan dan nyonya rumah) aku mendaki bukit batu. Bukit batu terjal di depan rumah menghantarkanku pada pemandangan luas perbukitan batu kapur. Semua yang terlihat adalah perbukitan, Tiada tanah lapang. Anak kelas 1 SMP Negeri 1 Weingapu ini mengarahkanku untuk menginjak rumput supaya tidak terpelesat. Bukit dengan kemiringan 60 an derajat itu bisa berbahaya, karena aku sempat terpelest ketika menginjak tanah.
Aku di atas bukit dan mulai melihat Mata Tuhan memancarkan kehidupan bagi dunia yang semalam-malaman terkurung dalam gelap. Cahaya besar dari timur itu seperti Tuhan yang memberi kehidupan bagi bumi yang mati. Ia menyala dan semakin terang, hembusan angin yang menggoyang kayu dan rumput kering, serta dengusan babi yang saling bersahut-sahutan. Semua itu membuat lengkap simponi yang menggema dalam ruas-ruas alam bawah sadar.
Hari ini, dimulai dengan ibadah yang memberikan potongan kertas dan kain batik serta lem. Masing-masing menempel pada kertas dalam bentuk yang tidak teratur, potongan yang tidak simetris. Semua menempel dengan menduga bahwa ini adalah potongan puzzle, hanya masih menduga-duga tentang gambar utuhnya. Mungkin Pulau Sumba, mungkin kuda putih, mungkin simbol alfa dan omega, ada ribuan kemungkinan. Waktunya mengumpulkan dan menjadikan satu, gabungan dari hampir 600 potongan puzzle menjadi peta Indonesia. Terpampang besar sebagai tambahan dekorasi Sidang Raya PGI yang dilakukan satu kali dalam lima tahun. Setiap orang mempunyai bagiannya, dan jika setiap bagian dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka di tangan Sutradara Agung, semuanya itu menjadi karya indah. Mari kita kerjakan bagian kita masing-masing.
Persidangan paripurna yang panjang sepanjang hari, mendengar laporan dari berbagai panitia dan seksi. Banyak interupsi, pendapat yang berbeda, suara serak karena bercampur air mata. Banyak topik yang krusial tentang peran gereja-gereja di Indonesia bagi bangsa ini. Ada juga topik topik strategis internal organiasi berkait dengan personalia, tata dasar organisasi, tuan dan nyonya rumah Sidang Raya PGI tahun 2024 dan lain-lain. Bahkan pembicaraan soal tuan dan nyonya rumah Sidang Raya XVIII PGI harus dilakukan secara khusus dan mendalam karena ada empat sinode yang mengajukan. Semua dapat diselesaikan dengan semangat kebersamaan, saling menghargai dan demi kemuliaan Tuhan.
Perayaan akhir persidangan dilakukan dengan ibadah penutupan yang ditandai dua peristiwa besar, yaitu pelantikan MPH dan MPL PGI dan perjamuan kudus. Semua adalah Bagian dari Tubuh Kristus yang Esa. Semua dipanggil dalam kesadaran sebagai warga negara dengan empat bahkan lima keprihatinan yang harus diperjuangkan oleh PGI sebagai payung bersama maupun oleh sinode-sinode yang tersebar di seluruh Indonesia sehingga bisa berkarya dalam konteks masing-masing. Kiranya TUHAN yang Raja Gereja memimpin perjalanan bersama dalam rumah besar PGI dan bangsa Indoensia.