(Sebuah tulisan dan refleksi sulung tahun 2018)
Pagi ini Pendeta saya Yakub Sundoyo (yang sedang merintis karir lain sebagai artis) tidak menggunakan bacaan leksionari dalam menyampaikan kotbah sulung awal tahun. Beliau menggunakan teks bacaan dari Habakuk 3:17-19 yang katanya ia dapatkan dari pesan singkat seorang temannya di Jakarta. (Pak, teman Bapak itu adik saya bukan? Wkwkwkw).
Demikian firman Tuhan,
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.”
Saya membaca ayat ini sambil tertunduk dan berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Tahun 2017, ayat ini merhema dalam kehidupan keluarga kami. Banyak peristiwa-peristiwa tak terduga yang kami sekeluarga maupun pribadi masing-masing alami di tahun 2017, termasuk peristiwa yang menyesak hati, dan menguras air mata. Secara khusus ada doa-doa dan pengharapan besar yang kami panjatkan, tetapi IA yang berdaulat atas hidup semua orang tak memberikan jawaban yang kami inginkan.
Peristiwa tersebut menghancurkan hati kami. Saya masih ingat betul pesan singkat adik saya (yang waktu itu sedang bertugas di luar Indonesia) malam itu pada saya,
“Please stay with me in prayer, Mil… when the fig tree may not blossom… tomorrow.”
Saat itu saya, Bapak, dan Ibu hanya bisa membaca berkali-kali ayat tersebut sambil terus menangis memohon belas kasihan TUHAN, bukan agar permohonan kami dikabulkan, tetapi agar hati kami tetap tertuju kepada ALLAH yang berdaulat atas hidup kami sepenuhnya.
Dan pagi harinya, saya kembali menerima pesan darinya,
“Pohon ara tidak berbunga hari ini”
Air mata saya lagi-lagi tumpah, dan saya tidak dapat berdoa lagi selain dari terbata-bata mengucapkan “Namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” Sulit sekali rasanya ayat ini saya baca, amat sulit.
Yah, tentu saja sulit karena selama ini kebanyakan syukur yang terpanjatkan adalah karena berkat, bukan karena pergumulan berat. Sorak-sorai dan riang ria dalam TUHAN beriringan dengan sukacita yang TUHAN berikan, bukan kesusahan atau kekalahan. Tidak salah memang. Tetapi kekristenan mengajarkan lebih dari semua ini. Habakuk menjadi teladan bagaimana IMAN kristen adalah IMAN MESKIPUN, bukan IMAN JIKA. Iman Kristen bukan iman logika matematika, “jika… maka…”. Bukan “jika TUHAN memberkati hidupku, maka aku…” Tetapi lebih dari itu, “Meskipun … , aku tetap …”
Pelan-pelan kami belajar untuk menghidupi IMAN MESKIPUN. IMAN bukan karena berkat, tetapi tetapi karena DIA yang kami sembah adalah ALLAH. Kami memilih untuk tetap bersukacita di dalam Tuhan yang kami sembah. Tuhan yang menjadi Juruselamat dan sumber kekuatan kami yang tak putus-putus.
Teladan Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menjadi satu lagi contoh bagi kami untuk membangun IMAN MESKIPUN. “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3 : 17-18)
Sindiran iri hati para peramal dan ancaman-ancaman penuh kemarahan dari raja Nebukadnezar tidak menakuti ketiga pemuda ini untuk memperlunak pendirian pribadi mereka. Mereka malah memberikan kesaksian yang berani dan sangat terus-terang tentang kesetiaan mereka kepada satu-satunya ALLAH yang benar. Mereka mempunyai pengharapan dan iman yang terpaut pada DIA yang adalah perlindungan dan kekuatan mereka. Jadi, sebagai ungkapan iman yang kokoh, kepercayaan mutlak dan kesetiaan penuh kepada Allah, mereka mengatakan, “seandainya Ia tidak menolong.” Mereka memiliki iman yang mengandalkan dan menaati Allah tanpa menghiraukan akibat-akibatnya. Ketaatan dan kepercayaan yang tabah kepada Allah, dan bukan terutama pengalaman kebebasan.
Hari ini memasuki tahun yang baru, tidak ada satu orangpun yang tahu tentang apa yang akan terjadi. Apapun bisa terjadi, karena sungguh kita hanyalah manusia yang tak punya kuasa untuk memegang kendali hidup. Mungkin akan ada perjumpaan, tetapi mungkin juga akan ada perpisahan. Mungkin kita akan meraih atau mendapat sesuatu, tetapi mungkin juga kita harus melepas atau kehilangan. Mungkin ada masa-masa kelimpahan, tetapi mungkin juga kita akan mengalami kekurangan. Mungkin kita akan selalu sehat, tapi siapa yang bisa menjamin? Di atas semua ketidakpastian, kita membutuhkan IMAN yang pasti. IMAN yang selalu tertuju kepada ALLAH, apapun yang terjadi. Hati yang tetap mengarah kepadaNya, apapun yang kita alami. Mampukah kita?
Oleh: Tyas
GKJ Brayat Kinasih