GKJbrayatkinasih, Jakarta- Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang mengajak umat Kristen di Indonesia agar merayakan Natal dengan penuh sukacita, kedamaian, dan kesederhanaan. Hindari perayaan Natal yang cenderung boros dan mewah, sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan kita terhadap penderitaan, kesusahan, dan berbagai persoalan yang masih dialami oleh sebagian besar warga bangsa ini.
“Kedepankanlah kerendahan hati, hikmat dan akal budi dalam merespon dan menyikapi isu-isu yang muncul dalam kehidupan gereja dan bangsa. Kita juga harus peka terhadap persoalan yang ada. Apapun yang terjadi, walaupun ada hal-hal yang mungkin mengancam, hendaknya jangan kita tanggapi secara tergopoh-gopoh, tetapi menanggapinya dalam semangat perdamaian. Betapapun perbedaan-perbedaan pandangan yang ada dalam masyarakat yang majemuk, kesatuan bangsa ini tetap diutamakan, dan perlu kita bangun bersama,” ujarnya saat jumpa pers yang berlangsung di Grha Oikoumene, Jakarta, Jumat (15/12).
Dia menambahkan, peristiwa Natal merupakan momentum untuk membaharui hidup pribadi maupun hidup bersama. “Sebagai umat beriman yang dilahirkan kembali, kita harus membuka diri agar damai sejahtera Kristus benar-benar memerintah dalam hati kita. Kita mendambakan damai sejahtera, baik dalam hidup pribadi maupun dalam hidup bersama. Kita merindukan suatu bumi yang penuh damai dan umat manusia yang makin bersaudara. Hanya dengan demikian, kita akan mengalami suka cita sejati,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Ketua PGI Pdt. Albertus Patty menjelaskan, tema Natal PGI-KWI 2017;Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah dalam Hatimu (Kol 3:15a), tidak terlepas dari konteks persoalan saat ini, yang belakangan justru menimbulkan adanya potensi perpecahan baik secara internal gereja, tetapi juga di dalam konteks kebangsaan dan dunia sekaligus.
“Apa saja misalnya potensi-potensi perpecahan yang justru sekarang ini muncul di tengah masyarakat, yang pertama kita bisa melihat adanya rencana perayaan Natal di Monas. Gagasan seperti ini sebetulnya tidak masalah, tetapi secara internal gereja menimbulkan kontroversi, perdebatan di dalamnya. Ini bisa atau tidak, ok atau tidak dan seterusnya. Apakah Natal di Monas ini bagian dari politisasi dan instrumentalisasi agama?” jelasnya.
Berdasarkan hal tersebut, lanjut Albertus, PGI hendak mengatakan bahwa mari kita sikapi dengan cara damai. Sekaligus ingin mengatakan jangan pernah gunakan perayaan-perayaan agama untuk kepentingan politik. Jangan melakukan instrumentalisasi politik terutama pada perayaan-perayaan Natal, Paskah atau apapun, yang sebetulnya untuk kepentingan politik jangka pendek.
Persoalan lain yaitu keputusan sepihak Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Keputusan itu menurut Albertus Patty tidak saja memecah belah internal gereja, karena adanya pro-kontra, tetapi juga dapat memecah belah kita sebagai umat beragama. Karena bagaimanapun Yerusalem adalah kota di mana baik Islam, Kristen maupun Yahudi, memiliki sejarah yang cukup panjang, dan memiliki kaitan emosional spritual dengan kota itu.
“Keputusan itu juga bukan saja menghancurkan proses perdamaian yang sedang dilakukan selama ini, melanggar kesepakatan PBB, tetapi juga keputusan ini sebagai sebuah ilusi, ilusi bahwa dengan memutuskan Yerusalem sebagai ibu kota Israel seolah-olah persoalan Yerusalem selesai, tidak mungkin,” tegasnya.
Menurut Albertus, persoalan Yerusalem hanya bisa dipecahkan melalui dialog yang mungkin panjang dan berat, oleh bangsa Israel dan Palestina sendiri, agar perdamaian yang sejati itu benar-benar terwujud. Bukan melalui intervensi Amerika Serikat.
Menyikapi perayaan Natal di Monas, Ketua Umum PGIW DKI Pdt. Manuel Raintung mengatakan bahwa pihaknya telah memberi masukan kepada Gubernur DKI, diantaranya tidak merayakan Natal bersama di Monas, tetapi mengusulkan dua tempat sebagai alternatif yaitu PRJ Kemayoran atau Glodok, Jakarta. (Sumber: pgi.or.id)