Menjadi sahabat yang menggunakan
kelebihan dan kekuarangan kita
untuk menolong dan mengisi.
Saya adalah salah satu dari ribuan anak yang pernah merasakan kejamnya kerusuhan di Maluku. Selama hampir 6 bulan kami hidup dalam ketakutan, terpisah dari anggota keluarga dan hidup dalam persembunyian.
Masih teringat dengan jelas kondisi kota yang gelap gulita, suara tangisan, suara tembakan dan diikuti dengan bom yang dijatuhkan membuat kami semakin takut, beberapa kali kami harus berlari ke hutan dan bersembunyi jika merasa bahwa ada musuh yang mengetahui tempat persembunyian kami. Kami harus berlari secepat mungkin supaya tidak sampai terlihat oleh musuh, dan yang menjadi keprihatinan di hati adalah ketika melihat para orang tua yang sudah sangat tua juga harus berlari seakan-akan tidak ada yang menolong, karena saat itu menyelamatkan diri sendiri saja belum tentu berhasil.
Dengan pemandangan yang mungkin terlihat berbeda, ada nuansa perasaan yang hampir sama dengan apa yang terjadi saat gempa di Lombok kemudian tsunami di kota Palu, Donggala dan sekitarnya. Semua manusia harus berlari agar tidak sampai ditangkap oleh ‘musuh’ (air laut yang naik) yang seakan-akan sedang mengejar mereka. Goncangan tanah dan kejaran air seakan-akan sedang berusaha untuk memusnahkan setiap manusia yang ada. Dimanakah tempat persembunyian yang paling aman pada waktu itu? Suara tangisan dan teriakan terus bergema dimana-mana, siapa yang dapat menolong mereka, hanya berdoa dan berusaha menyelamatkan diri itulah yang bisa dilakukan.
Pasca bencana orang-orang mulai saling mencari sanak saudara, namun sebagian ditemukan sudah tidak bernyawa dan ada juga yang terluka parah. Dalam kondisi seperti ini, yang dapat direnungkan oleh manusia hanyalah berserah diri kepada Sang Pencipta. Alam menunjukkan wajah yang berbeda dalam beberapa saat. Alam yang mungkin kita kenal adalah ruang tempat kita bernaung kini berubah menjadi tempat yang menakutkan. Alam menunjukkan eksistensinya dalam rupa yang berbeda, dan dalam beberapa jam saja air menyapu bersih apapun yang dilewatinya.
Kini keadaan mencekam itu telah berlalu, pertanyaan bagi kita adalah, apa yang dapat kita lakukan bagi mereka ? kita tahu bahwa setelah kejadian, bantuan-bantuan pun berdatangan dari segala penjuru dunia tidak hanya Indonesia tetapi juga dari negara-negara tetangga. Saya tetap percaya bahwa setiap orang masih memiliki jiwa humanis, peka dengan penderitaan orang lain dan jiwa menolong.
Dari kondisi ini, saya kembali melihat tema yang diberikan IGNITE Sahabat Sebangku, sekilas dapat diartikan sebagai sahabat sewaktu masih di bangku pendidikan, namun untuk kali ini saya ingin berefleksi bahwa makna dari kata sahabat sebangku bisa juga dilihat dari perspektif yang lain, misalnya : menjadi sahabat yang merasakan apa yang dialami orang lain, memposisikan diri setara dengan mereka yang didiskriminasi, memahami apa yang sedang dipikirkan orang lain, karena itu juga bagian dari makna sahabat. Tulisan ini, saya mencoba merefleksikan makna sahabat sebangku, yaitu; merasakan apa yang dirasakan orang lain, prihatin dengan penderitaan orang lain dan apa yang dapat kita lakukan untuk menolong mereka yang mengalami penderitaan.
Saat membaca sebuah buku yang ditulis oleh Bill Crowder dengan judul Menyelami Hati Kristus, sebuah tulisan yang membahas tentang bagaimana Yesus mempedulikan mereka yang terluka. Buku ini mengulas beberapa kisah dalam kitab Injil yang mau menunjukan bahwa Yesus adalah sosok sahabat yang peduli pada mereka yang lemah dan membutuhkan penghiburan. Buku itu membawa saya untuk ikut merasakan apa yang dialami para korban bencana alam.
“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu”. (Yohanes 15:13-14).
Seperti pesan di ayat ini, sahabat yang baik artinya memiliki kemauan untuk berkorban. Misalnya dengan memberikan kemelekatan kita (dunia kita) untuk peduli pada sesama, kita adalah sahabat mereka yang saat ini sedang membutuhkan kita. Pesan Yesus, jika ingin menjadi sahabat yang baik berikanlah ‘nyawamu, hidupmu dan kemelekatanmu’ atau apa yang ada dan kita miliki saat ini untuk menolong sesama.
Sahabat adalah orang yang selalu ada dalam keadaan apapun, sahabat selalu peka dan semakin peduli ketika sahabat mengalami persoalan atau bencana, pertanyaannya, sudahkah kita menjadi sahabat bagi mereka yang sedang berduka pasca mengalami bencana ?
Kita tentu perlu belajarlah seperti Muhammad dan Samir, yang dimana untuk menjadi sahabat Samir tidak harus memberikan matanya kepada Muhammad yang buta itu agar dapat melihat, tetapi Samir menjadi mata bagi Muhammad yang menuntunnya kemana mereka akan pergi, dan Muhammad yang memiliki kaki tidak harus memberikan kakinya kepada Samir yang lumpuh supaya dapat berjalan sendiri, tetapi Muhammad menjadi kaki bagi Samir untuk mendayung sepeda yang mereka tumpangi agar dapat sampai ke tujuan bersama.
Yesus tidak menuntutmu menjadi manusia yang sempurna secara fisik dan sukses secara duniawi untuk dapat menjadi sahabatNya, tetapi yang DIA minta hanyalah hiduplah sesuai yang DIA perintahkan; mengasihi, peduli, peka dengan sesama, berbela rasa, dan membuka pintu untuk dunia sendiri agar dapat melihat dunia luas, jika itu mampu kita lakukan maka kita telah menjadi sahabat-Nya.
Penulis: Mike Makahenggang