GKJbrayatkinasih, Jakarta- Pemerintah Amerika Serikat, di bawah Presiden Donald J. Trump, baru saja mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem sebagai Ibukota Israel, pada 6 Desember 2017 lalu.
Pengakuan Presiden Trump tersebut merupakan bentuk pengabaian terhadap perjalanan panjang gereja-gereja dan masyarakat dunia untuk penyelesaian konflik Palestina dengan solusi dua negara, Israel dan Palestina, yang berdiri secara damai. Penyelesaian menyeluruh sedemikian sesungguhnya mengharuskan status Yerusalem diselesaikan dalam dialog konstruktif yang mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan kedua belah pihak, yakni Israel dan Palestina.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mencermati perkembangan ini dalam konteks pergumulan panjang gereja-gereja dan masyarakat dunia untuk mendorong perdamaian di Timur Tengah, khususnya perdamaian Israel-Palestina. Yerusalem adalah rumah bersama (oikoumene) dan kota yang memiliki tempat dan sejarah tersendiri bagi tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen dan Islam, yang mendasarkan imannya pada Tuhan Abraham. Yerusalem juga telah lama menjadi bagian dari sejarah bersama Israel-Palestina, bahkan juga bagi bangsa-bangsa di Timur Tengah dan dunia. Oleh karena itu, PGI memandang bahwa status Yerusalem bukanlah soal konflik agama, melainkan soal mengelola hidup bersama melalui skema jalan damai yang berkeadilan bagi semua pihak, khususnya Israel dan Palestina.
Jalan damai sedemikian juga menjadi pergumulan yang terus diperjuangkan gereja-gereja di Indonesia dengan mendorong kerjasama dan perdamaian, sebagaimana ditegaskan dalam Dokumen Keesaan Gereja: “Berpangkal pada keyakinan bahwa ‘Tuhan itu Baik Kepada Semua Orang’ (Mzm 149:9a)….maka gereja-gereja mengajak berbagai kelompok agama dan kepercayaan lain, serta semua orang yang berkehendak baik, untuk bekerjasama agar Tuhan sendiri mengangkat kita dari samudera raya.”
Demikian pernyataan sikap PGI yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang dan Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom.
Berhubung dengan hal-hal tersebut, PGI menyatakan, pertama, tidak menyetujui keputusan Presiden Trump yang mengakui penetapan sepihak oleh Israel yang menetapkan Yerusalem sebagai ibukota Israel, dan mengabaikan jalan damai untuk menyelesaikan status Yerusalem dalam skema dua negara (Israel dan Palestina) yang sejajar. Selain menabrak jalan damai tersebut, pengakuan ini dikuatirkan akan memicu eskalasi konflik baik di Timur Tengah maupun di negara-negara lain, apalagi bila pengakuan ini diikuti dengan pemindahan Kantor Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem.
Kedua, mendorong gereja-gereja untuk terus menempatkan status Yerusalem dalam skema jalan damai dua negara demi perdamaian dan keadilan bagi Israel dan Palestina. Olehnya, PGI berharap, Yerusalem tidak serta-merta diklaim sebagai ibukota oleh Negara mana pun. Ketiga, menghimbau masyarakat Indonesia agar status Yerusalem tidak diletakkan dalam sentimen agama, apalagi dikapitalisasi untuk kontestasi politik yang akan bergulir tahun depan. Keempat, menghimbau pemerintah Indonesia agar dalam merespons maupun mengambil langkah-langkah diplomatik terkait isu ini selalu memperhatikan skema jalan damai di mana Israel dan Palestina diletakan sebagai dua negara yang sejajar.(Sumber: pgi.or.id)
Untuk melihat pernyataan sikap PGI dalam bentuk PDF klik di bawah ini.
PERNYATAAN SIKAP PGI TERKAUT STATUS YERUSALEM