Seorang dokter berangkat dari Eropa ke pedalaman di Afrika, ia datang dengan niat mulia untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada penduduk terpencil. Ia berangkat bersama dengan keluarganya. Di tempat yang dituju, ia mendirikan klinik kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Setelah beberapa bulan di sana, ia kangen dengan buah kesukaannya yaitu nanas. Karena tidak menemukan buah nanas di daerah itu maka ia putuskan untuk pergi ke luar daerah dan mencari bibit nanas.
Setelah mendapatkan bibit nanas, ia meminta seseorang dari kampung itu untuk menanam dan merawat pohon nanas. Tiga tahun terasa begitu lama, menunggu pohon nanas itu berbuah untuk pertama kalinya. Sambil berbaring di tempat tidur, ia melamun dan membayangkan betapa segar buah nanas yang akan ia panen besok. Terbangun ia dari mimpi nikmat itu dan pagi mulai menggunting gelapnya malam. Ia bangun dan berjalan cepat ke dapur untuk mengambil pisau. “Segar sekali rasanya, bau segar nanas terasa sekali”, gumamnya sambil meluncur ke kebun nanas di belalang rumah.
Matanya melotot, tangannya terus digerakkan menyusuri tiap jengkal pohon nanas di kebun itu, ia berhenti dan sudah hampir 90% wilayah kebun itu tersapu, tetapi ia tidak menemukan buah nanas yang dicarinya. Sambil berlari kecil ia segera menyelesaikan penjelajahan itu dan hasilnya kekecewaan. Semua nanasnya hilang dan setiap batang yang menyangga buah nanas telah terpotong benda tajam. Ia sangat kecewa dan begitu marah, semua kemarahan itu hanya tertuju pada orang-orang kampung yang selama ini ia layani. “Siapa lagi … siapa lagi tidak ada orang lain di kawasan tepian hutan ini. Mereka betul-betul keterlaluan”, gumamnya sambil menusukkan pisau ke batang pohon.
Karena marah, maka ia putuskan untuk menutup kliniknya. Semua orang yang datang karena sakit, tidak ia pedulikan. Kejadian ini berlangsung hampir satu minggu. Selama itu juga setiap malam ia tidak bisa tidur, ia selalu terngiang suara bayi menangis karena sakit, rintihan perempuan tua menahan sakit kepalanya. Kemarahan masih menutup hatinya, namun ia putuskan untuk membuka kembali kliniknya dengan perjanjian bahwa nanas tidak boleh dicuri. Panen berikutnyapun segera tiba, dan sekali lagi ia dibuat sangat marah. Mereka mengambil kembali buah nanas.
Dalam campur aduk perasaan marahnya, ia berusaha berdamai dengan dirinya sendiri. Ia membaca bagian dari kitab suci dan ia menemukan makna penting soal peristiwa yang sedang ia alami. Ia menemukan cara berpikir yang baru, ia menemukan kesadaran bahwa semua yang ada itu punya Tuhan. Bibit itu punya Tuhan, walaupun manusia bisa membeli tetapi manusia tidak bisa membuat bibit itu sendiri, bibit itu ditanam di tanah yang sesungguhnya adalah milik Tuhan, pohon nanas itu disiram, dirawat dan diberi pupuk tetapi pertumbuhan daun, batang serta buahnya hanya Tuhan yang berkuasa memberikannya. Semuanya punya Tuhan dan kalau ada orang yang mengambil maka sesungguhnya mereka mengambil punya Tuhan. Kalau mereka mengambil punya Tuhan, jadi tidak ada alasan untuk menjadi marah.
Setelah pencerahan itu terjadi sikapnya berubah, ia tidak lagi marah dan bahkan sambil bergurau ia berkata kepada orang-orang kampung, “Teman-teman, sebentar lagi buah nanas akan matang dan siap dipanen. Besok malam kalau mau mengambil buah nanas, aku diajak ya! Atau kalau agak repot kita panen di waktu malam akan lebih baik jika kita panen di siang hari saja”. Masa panenpun tiba, dokter dan orang kampung larut dalam kebahagiaan pesta panen nanas. Sungguh membahagiakan. Demikialah penggalan cerita dari buku : ‘the pineapple’s story’.
Penghayatan soal milik ini juga bisa kita rasakan pada saat Yesus berjalan masuk ke Yerusalam. “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu. Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan segera menemukan seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah ke mari. Dan jika ada orang mengatakan kepadamu ; mengapa kamu lakukan itu, jawablah : Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya ke sini”, kata Yesus kepada muridNya.
Penggalan kalimat yang menceritakan perjalanan Yesus saat mau masuk ke Yerusalem, Ia akan melintasi lereng dan berjalan di jalan utama menuju kota pusat ibadah, pemerintahan dan kota simbol kejayaan. Ia meminta pengikutnya untuk mengambil seekor keledai yang belum pernah ditunggangi dan seandainya ada orang yang menegur karena para murid itu mengambil keledai maka jawaban yang harus mereka sampaikan adalah Tuhan memerlukannya. Kata Tuhan diterjemahkan dari kata ho kurios (‘dia yang berkuasa atau penguasa), bisa diterjemahkan dengan kata lain yaitu ‘Pemilik’. Kata ini mau menunjukkan bahwa Tuhan yang empunya segala sesuatu. Kalimat itu dilanjutkan dengan kalimat : “Ia akan segera mengembalikannya”.
Mari kita belajar sesuatu, mengingat semua kemarahan yang pernah terjadi dalam hidup kita. Kita marah karena kita merasa ada orang lain yang merampas hak kita. Saya marah dengan orang yang memaki saya, kita marah karena kita merasa punya hak untuk dihormati. Kata kunci untuk keluar dari kemarahan adalah pelepasan segala sesuatu yang kita anggap sebagai hak kita. Seandainya saya marah pada orang yang mencaci saya karena saya merasa punya hak untuk dihormati maka sekarang sebagai jalan keluar dari kemarahan itu adalah melepaskan hak dihormati itu kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang punya hak untuk dihormati. Melepaskan kepemilikan menjadi jalan keluar bagi penyelesaian kemarahan.
Hal lain, kalau kita melihat kata ho kurios (penguasa) memiliki hak untuk menggunakan kekuasaanya, mengambil apa yang ia butuhkan dari orang lain namun kalimatnya tidaklah berbenti. Kalimatnya berlanjut : ‘ia akan segera mengembalikannya’. Rumusan kalimat yang harusnya juga terjadi dalam kehidupan kita di keluarga. Orang tua memiliki otoritas atas anak-anaknya, orang tua berhak meminta rasa hormat dari anak-anaknya tetapi ia juga harus menghormati anak-anak dalam wujuk kasih sayang dan teladan hidup. Demikian juga halnya kehidupan kita berbangsa, ada kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat dan memberikan kekuasaan itu kepada pemerintah dan hal yang harus dilanjutkan dari kalimat itu adalah pemerintah harus menggunakan kekuasaannya demi masyarakat.
Semua kepemilikan adalah kepunyaan Tuhan. Semua kekuasaan adalah pemberianNya. Kepemilikan atas kekuasaan sudah seharuanya berguna dan bermanfaat bagi seluruh ciptaanNya.
Oleh : Pdt. Sundoyo
GKJ Brayat Kinasih