Suatu saat ada seorang anak yang tiba-tiba frustasi dan berteriak kepada ayahnya, “Aku benci kamu! Aku benci kamu!”. Mendengar perkataan itu, ayah tersebut mengajak anaknya untuk berjalan ke taman dekat rumah. Di sana ada sungai mengalir di sepanjang lembah. Di lembah itu, sang ayah meminta anaknya untuk berteriak dengan keras seperti saat ia ada dalam rumah tadi. “Aku benci kamu! Aku benci kamu!” Sebentar kemudian ada suara yang menyaut, “Aku benci kamu! Aku benci kamu!” Mendengar perkataan itu, anak laki-laki itu melihat ayahnya, dengan suara merengek ia berkata : “Seseorang tidak menyukai aku.” “Mungkin begitu”, sahut ayahnya.
Kemudian ayahnya melanjutkan perkataannya :”Tapi lihat apa yang akan terjadi ketika kamu mengatakan kepada orang tersebut bahwa kamu mencintai dia.” Anak kecil tersebut kemudian berteriak dan mengatakan : “Aku sayang kamu! Aku sayang kamu!” Dan sebentar kemudian ia mendengar suara : “Aku sayang kamu! Aku sayang kamu!” Mendengar perkataan itu, anak kecil tersebut sangat terkejut dan senang. Ia berkata :”Ayah, lihat. Ada seseorang yang menyayangi aku. Aku punya teman.
Itulah cerita kecil yang tertulis dalam buku : “God’s Little Lesson son Life for Dad”, By Honor Books, Tulsa – Oklahoma, tahun 1999. Cerita yang membawa kita untuk belajar tentang kemarahan serta belajar tentang kehidupan. Dalam buku tersebut cerita itu diakhiri dengan sebuah nasehat penting pada seorang ayah. “Ketika kita mampu mengalihkan kemarahan anak-anak kita dengan tenang, kita dapat mengajar mereka sebuah pelajaran. Pelajaran tentang mengontrol diri, seperti kata-kata orang bijak : “the greatest cure for anger is delay”.
Seperti dalam satu cerita yang lain menceritakan tentang seseorang yang suka marah-marah. Sebenarnya dirinya sendiri juga sangat membenci kebiasan buruknya tersebut. Ia ingin sembuh dari kebiasaan buruk itu tetapi ia tidak tahu caranya. Akhirnya ia membulatkan tekat mencari guru yang bisa memolong dia untuk menghentikan kebiasaan marah-marahnya. Ia pamit dengan istrinya untuk pergi beberapa hari. Setelah perjalanan tiga hari, tiga malam iapun menemukan guru yang ia cari. Segera ia menyampaikan keadaan dirinya yang suka marah-marah dan ingin sekali berhenti dari kebiasaan buruk tersebut. Guru bijaksana itu memberikan ia resep untuk mengatasi kebiasaan marah itu. Resepnya adalah tujuh langkah kesabaran, guru tersebut menjelasakan tujuh langkah kesabaran ini akan bisa menghentikan kebiasaan marah-marah.
“Bagaimana caranya guru” tanya orang tersebut untuk bisa melaksanakan rumus gurunya. Dengan wajah tenang guru tersebut menjawab : “Saat kamu ingin marah, maka kamu harus melangkah ke depan sebanyak tujuh langkah, sambil melangkah mau menghitung angka dari angka satu sampai tujuh. Setelah itu kamu berjalan mundur sebanyak tujuh langkah juga dan tetap dengan menghitung angka satu sampai tujuh. Lakukanlah seperti itu sebanyak tujuh kali”. Sambil mengangguk-angguk tanda mengerti, orang itu berpikir bahwa ternyata sangat mudah untuk mengatasi kemarahan, hanya berjalan ke depan dan ke belakang sebanyak tujuh langkah dan diulang sebanyak tukuh kali.
Setelah selesai dengan pelajaran singkat dan berharga itu, orang berbadan gempal itu minta pamit untuk pulang ke rumah. Ia punya semangat baru dan segera akan menyampaikan kabar baik itu kepada istrinya. Perjalanan yang melelahkan tidak terasa dengan harapan membangun keluarga yang bahagia dengan istrinya yang selama ini tersiksa karena kebiasaan burutknya tersebut. Ia sampai di rumah sekitar jam sepuluh malam. Ia masuk ke rumah dan segera ke kamar untuk menemui istrinya. Sungguh terkejut ia, dengan kedua matanya ia melihat di tempat tidur itu ada dua orang yang sedang tidur di bawah selimut, saling memeluk dan tertutup rapat dengan kain selimut. Ia sangat terkejut dan marah karena ternyata istrinya mempunyai laki-laki idaman lain. Segera ia ke dapur dan mengambil pisau. “Inilah waktunya untuk menghabisi nyawa istri dan laki-laki kurang ajar ini”, pikirnya sambil menahan nafasnya yang tersengal-sengal.
Saat ia mengangkat pisau itu, ia teringat akan nasehat gurunya tentang tujuh langkah kesabaran. Kemudian ia berjalan tujuh langkah dan mundur tujuh langkah sambil menghitung angka. Tindakanya ini ternyata membangunkan dua orang yang sedang tidur itu. Sungguh di luar dugaan ternyata dua orang yang tidur dibalik selimut itu adalah istri dan mertuanya. Sambil bergetar ia melepaskan pisau di tangannya. Ia sungguh tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ia langsung menghujamkan pisau itu kepada dua orang itu yang ternyata adalah istri dan mertuanya sendiri. Ia bersyukur karena mematuhi nasehat gurunya untuk melakukan tujuh langkah kesabaran. “Obat yang paling mujarab untuk mengobati kemarahan adalah menunda”.
Nyata dalam firman Tuhan di Amsal 15 : 1, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” Demikian juga dalam Yakobus 1 : 19, “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah”.
Hal yang lain yang bisa kita pelajari dari cerita seorang anak yang marah kepada ayahnya dan kemudian ia dibawa ke lembah. Ia diminta untuk mengatakan kemarahanya dan tebing-tebing akan memantulkan kembali kemarahan itu. Dan setelah ia diminta untuk mengatakan “I love you”, maka tebing-tebing itu menyampaikan kembali bahwa apa yang ia katakan. Inilah dunia dan kehidupan, mereka akan memantulkan kembali apa yang kita sampaikan. Kalau kita menyapaikan sesuatu yang buruk maka dunia ini akan menyampaikan hal buruk itu kepada kita, namun saat kita menyampaikan hal yang baik maka dunia ini akan memantulkan hal baik juga kepada kita. Inilah yang disebut dengan gema kehidupan.
Cerita tentang tujuh langkah kesabaran dapat dibaca dalam bukunya Andrie Wongso : “15 Wisdom and Success”. Sedangkan tentang gema kehidupan dapat dibaca dalam bukunya Andrie Wongso : 16 Wisdom and Success”.
Oleh : Pdt. Yakub Sundoyo
GKJ Brayat Kinasih