Home » Warta Terkini » Agama Harus Melantangkan Kasih Sayang di Masa Covid-19

Agama Harus Melantangkan Kasih Sayang di Masa Covid-19

Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom (kedua dari kanan) saat memaparkan pandangannya, dalam Dialog Virtual Nasional Lintas Iman, di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (14/7).

Jakarta,pgi.or.id – Di tengah situasi yang tidak pasti, penuh kegalauan, dan penuh pertanyaan, maka agama-agama harus melantangkan kasih sayang dalam bentuk solidaritas, peduli, serta berbagi, di masa dan pasca pandemik Covid-19. Melantangkan kasih dalam bentuk anti stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang terpapar Covid-19.

Demikian ditegaskan Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom dalam Dialog Virtual Nasional Lintas Iman, bertema Peran dan Tantangan Agama di Masa dan Pasca Pandemik, yang diinisiasi oleh Badan Pengelola Masjid Istiqlal, Selasa (14/7).

Selain melantangkan kasih sayang, lanjut Pdt. Gomar, yang tidak kalah penting ke depan bagaimana agama-agama mendorong kerjasama antar negara untuk menemukan vaksin Corona, serta dalam kerjasama tersebut, juga memotivasi negara-negara untuk menciptakan sistim distribusi global yang adil dan merata, sehingga vaksin itu mudah dijangkau oleh semua orang, dan tidak dikuasai oleh sekelompok kepentingan tertentu.
Para pimpinan lintas agama foto bersama sebelum dialog.

Di awal paparannya, Ketua Umum PGI juga menjelaskan, tidak ada negara yang siap menghadapi pandemik ini, baik terkait penyediaan alat kesehatan, anggaran, data, dan sebagainya. Agama-agama juga sempat limbung.

“Kalau kita ikuti diawal-awal pandemi ini, paling tidak di lingkungan gereja juga timbul semacam kelimbungan yang luar biasa. Selama ini gereja memahami diri sebagai sebuah persekutuan. Sebagai sebuah persekutuan maka perjumpaan ragawi menjadi hakekat dari persekutuan itu. Kita semua, dan ini tantangan terbesar pasca pandemi, selama ini berlelah untuk mengajak warga berkumpul di gereja, saya kira itu juga dialami masjid, pura, dan sebagainya, tetapi tiba-tiba di awal Maret kami harus katakan hindari perjumpaan, bahkan hindari berkumpul dan beribadah di gereja. Ini tentu membawa pertanyaan mendasar bagi banyak warga,” jelasnya.

Menurut Pdt. Gomar, berdasarkan pengalamannya selama tiga, empat bulan terakhir, semua tokoh agama-agama hadir memberikan pencerahan, edukasi, dan kampanye, kepada masyarakat. Sehingga di satu sisi ikut memutus mata rantai penyebaran Covid-19, tetapi juga memberikan pemahaman mendasar bagi warga bahwa Allah tidak sedang membiarkan umatNya. Melainkan, ikut berperang melawan virus ini, dan menggunakan umat beragama menjadi tangan-tanganNya.

“Para dokter, para medis, aparat, semua sebagai tangan-tangan Allah yang sedang berperang. Termasuk para ahli, ilmuwan, sedang berperang mencari virus ini. Saya kira kita juga sudah ada dalam posisi itu, menjelaskan kepada warga. Tentu para pemimpin agama juga mendampingi umat dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi ini, baik itu menyangkut masalah finansial karena stay at home yang juga banyak menimbulkan masalah finansial, dan masalah psikososial lainnya,” katanya.

Dia juga menyaksikan, karena ketidakpastian kapan pandemi ini berakhir, kapan vaksin ditemukan, sehingga menimbulkan kegelisahan dan kegalauan, tokoh-tokoh agama hadir menumbuhkan harapan.
Pdt. Gomar Gultom mendapat piagam penghargaan dari Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar di akhir dialog.

Pada kesempatan itu, Pdt. Gomar juga mengungkapkan, peran yang menonjol dilakukan PGI belakangan ini di tengah pandemik Covid-19, yaitu mengembangkan program Oikonomics, sebuah platform digital untuk mencoba berkolaborasi dan sharing antarberbagai stakeholder di lingkungan gereja-gereja, dengan mulai mengumpulkan sumber-sumber produksi yang ada di pedesaan, agar bisa dihubungkan dengan para konsumen yang membutuhkan. Karena saat ini distribusi sangat terhalang. Juga konsultasi secara online, untuk melayani masyarakat secara digital.

“Sekarang kita juga sedang bergerak untuk mulai mengembangkan habitus baru pasca pandemik, dimana kita adaptasi kepada kebiasaan baru yaitu mendorong kekebalan tubuh dari setiap masyarakat dengan kesehatan, dan juga disiplin mengikuti protokol kesehatan. Ini akan efektif kalau kita semua, tokoh agama-agama di Indonesia, membangun sinergitas, dan berkolabirasi bersama pemerintah, untuk menghadapi pandemik Covid-19 yang sedang berlangsung, dan mudah-mudahan pasca pandemi, kita bisa lebih meningkatkan kerjasama ini,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Kardinal Mgr. Ignatius Suharyo. Menurutnya, bagi umat Katolik, berdasarkan pengalaman, selain mendampingi umat khususnya pada wabah Covid-19 ini, tetapi juga melakukan pembinaan yang berkelanjutan. Dalam pembinaan itu ditekankan pada tiga kata sederhana, yaitu semakin beriman, semakin bersaudara, semakin berbelarasa. Maka, jika kita sungguh-sungguh beriman, maka akan muncul ialah persaudaraan yang sejati. Dan, ketika persaudaraan sejati itu tumbuh, akan menghasilkan buahnya yaitu belarasa, atau keralaan untuk berempati, dan kerelaan untuk berbagi kepada siapa saja, tanpa melihat latarbekang mereka.

“Pemimpin Gereja Katolik di Roma dua yang terakhir, sangat jelas menegaskan hal ini. Pada tahun 2005 Paus Benediktus ke 16 menulis suatu anjuran yaitu Allah adalah Kasih. Kenapa ini ditulis, sebagimana kita tahu tidak sedikit saudara-saduara kita yang mengatasnamakan Allah tetapi justru memunculkan semangat kebencian, bukan persaudaraan. Selanjutnya, tahun 2016, Paus Franciskus yang sekarang, memaklumkan yang didalam gereja Katolik disebut Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Allah. Jadi umat Katolik di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, diharapkan mendalami paham bahwa Allah itu adalah maha pengasih, maha penyayang, dan maha rahim,” jelas Ignatius Suharyo.

Sedangkan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar menegaskan, bahasa agama sangat diperlukan ketika masyarakat sedang krisis, bahasa agama sangat diperlukan ketika masyarakat sedang tegang, bahasa agama sangat diperlukan ketika manusia sedang bimbang, dan justru kehadiran tokoh-tokoh agama dalam era seperti Covid-19 ini sangat dibutuhkan. Tokoh agama selalu akrab dengan musibah bahkan tak hanya bencana, mereka juga hadir dalam persoalan kemanusian.

Pilar Persatuan

Sebagai keynote speaker, Wakil Presiden RI, KH. Ma’ruf Amin dalam dialog yang dipandu oleh Rosita Tandos ini, menyampaikan bahwa harmoni dan kerukunan umat beragama adalah pilar persatuan Indonesia. Hanya dengan persatuan nasional yang teguh bangsa Indonesia akan mampu menghadapi semua cobaan dan tantangan demi kemajuan bangsa khususnya dalam menghadapi dan mengatasi wabah Covid-19.

Wapres pun mengharapkan para tokoh dan pemuka agama memikirkan upaya-upaya yang dapat mendukung kebijakan dan langkah yang diambil pemerintah, termasuk dalam bimbingan kepada umat selama wabah masih melanda bangsa Indonesia. “Saya menaruh harapan besar bahwa seluruh pimpinan agama yang hadir dalam dialog ini mampu mengajak umat dan masyarakat untuk tetap tabah dan tidak putus asa melainkan mampu memberi semangat bertahan dan mencari inovasi serta memacu kemajuan dalam mengatasi pandemi covid-19,” kata Wapres.

Dia menambahkan, dialog nasional lintas iman ini sangat penting karena kemajemukan menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Dialog dengan berbagai latar belakang suku, ras dan agama telah menjadi bagian dari keseharian dalam bermasyarakat dan bernegara dalam rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. “Di situlah kita menghargai pentingnya dan peran para tokoh lintas agama serta pimpinan agama sebagai panutan dan rujukan bagi umat dan masyarakat,” tandasnya.

Wapres menilai tema dialog sangat aktual dalam kontek kesamaan langkah bersama dalam memposisikan peran dan tantangan agama baik dalam masa pandemi maupun pasca pandemi. Sebab, lanjutnya, pandemi covid19 merupakan cobaan yang sangat berat, tidak hanya Indonesia tapi juga bangsa lain di dunia. Dampak yang ditimbulkan pun sangat luas dan multidimensi sehingga memaksa semua negara menetapkan dan mengeluarkan kebijakan yang sebelumnya belum pernah dilakukan.

Sementara Menag RI, Fachrul Razi mengapresiasi terselenggaranya dialog ini, sehingga mendapatkan kesamaan sikap dalam menghadapi pandemik Covid-19, yang tidak hanya mengancam Indonesia tetapi juga seluruh dunia. Hal positif yang kita saksikan, menurut Faschrul, semua masyarakat lintas iman bahkan lintas negara, terlibat secara aktif untuk menyelamatkan umat manusia dari pandemik ini, tanpa melihat latarbekang agama, suku, ras, etnis, dan lainnya. Meski belum tuntas, tetapi patut disyukuri karena banyak hal sudah dicapai, dan hal itu tidak lepas dari partisipasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama lewat penjelasan-penjelasan yang disampaikan kepada umat.

“Kita sepatutnya berterimakasih kepada tokoh agama yang melalui pendekatannya masing-masing telah mendukung berbagai upaya ini dengan sebaik-baiknya. Protokol kesehatan, imbauan untuk tidak mudik, juga tidak beribadah di rumah ibadah, dijalankan dengan taat,” tandas Fachrul.

Dialog Virtual Nasional Lintas Iman yang menghadirkan Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin dan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi sebagai keynote speakers ini, juga menampilkan pembicara, seperti Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal), Kardinal. Mgr. Ignatius Suharyo (KWI), Mayjen TNI Purn Wisnu Bawa Tenaya (Parisada Hindu Dharma Indonesia), Siti Hartati Murdaya (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), Budi Santoso Tanuwibowo (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), dan Dr. H. Nifasri (Pusat Kerukunan Beragama Kemenag RI). (Sumber: pgi.or.id)