Home » Artikel » Melawan Manifesto Kebencian

Melawan Manifesto Kebencian

JUMAT, 15 Maret 2019, mungkin termasuk hari paling kelam dalam sejarah Selandia Baru. Dunia terenyak. Sebuah negara yang pada 2010 silam sempat berada di posisi pertama berdasarkan indeks negara paling Islami yang dipublikasikan oleh George Washington University, kali ini menjadi tempat dieksekusinya salah satu kejahatan kebencianpaling brutal.

Yang menambah elemen tragis dari peristiwa ini adalah karena Jacinda Arden, Perdana Menteri Selandia Baru, termasuk figur pemimpin perempuan yang paling progresif belakangan ini.

Seperti Barack Obama, ia mendukung gerakan imigrasi. Ia membuka pintu bagi para pendatang untuk menjadikan Selandia Baru sebagai rumah mereka.

Namun, kebijakan semacam itu ternyata menciptakan ketakutan dan kekhawatiran tersendiri bagi kelompok tertentu.

Beberapa fakta yang bisa kita ketahui dari peristiwa penembakan masjid di Christchurch ini adalah bahwa penembakan tersebut dilakukan dengan senjata api oleh seorang yang berkebangsaan Australia.

Ketika melakukan penembakan di masjid, pelaku menggunakan kamera yang ditempelkan di tubuhnya untuk menyiarkan secara langsung penembakan tersebut di media sosial.

Dalam rekaman tersebut, pelaku menembak dengan santai dan perlahan memastikan bahwa orang yang berada di dalam maupun di luar masjid yang ia temukan menjadi sasaran tembak.

Pelaku kembali ke mobil setelah melakukan aksinya membunuh 50 orang dan melukai 50 orang lainnya dengan brutal, lalu menunjukkan ekspresi tersenyum puas sebelum minum seperti biasa.

Fakta lain adalah adanya sebuah manifestopenuh kebencian, antiimigran dan anti-Muslim sekitar 80 halaman yang menjadi dasar dilakukannya aksi tersebut.

Dari fakta-fakta tersebut, apa yang setidaknya bisa kita pelajari? Menurut saya ada beberapa hal yang amat berpengaruh dan harus diperhatikan.

Pertama, kata-kata itu berpengaruh. Perlu waktu dan proses sebelum kata-kata atau ujaran kebencian (hate speech) menjelma menjadi sebuah kejahatan kebencian (hate crime).

Saya setuju dengan apa yang pernah dikatakan Nelson Mandela bahwa “tidak ada orang yang terlahir membenci orang lain… mereka harus belajar untuk itu”.

Kebencian itu diajarkan, ditularkan, lewat proses yang berulang-ulang. Hal ini terbukti dari adanya manifesto antiimigran dan anti-Muslim yang diunggah oleh pelaku penembakan sebagai pemicu sekaligus justifikasi atas aksinya.

Belajar dari itu, menurut saya, kita semua saat ini harus selalu ingat untuk menahan diri. Istilah-istilah yang membelah masyarakat seperti “kafir” atau bahkan “komunis”, misalnya, dalam relasi kebangsaan sesama warga negara sudah tidak boleh digunakan lagi.

Sesuai dengan apa yang pernah disepakati dalam musyawarah Nahdlatul Ulama, penggunaan kata-kata “kafir” sudah terlalu sering diucapkan bukan untuk ranah teologis, namun untuk konotasi yang negatif membuka jurang identitas antara kau dan kami.

Selain bahwa label “kafir” dan “komunis” seringkali adalah tuduhan yang tidak bisa dibuktikan (siapa yang punya otoritas untuk membuktikannya?), kata-kata tersebut bagi saya telah menjelma seperti kata “nigger” di Amerika. Digunakan hanya untuk merendahkan, memicu keributan, dan memantik sentimen antarwarga.

Kata-kata akan semakin berpengaruh terutama jika dilontarkan oleh pemimpin atau elite politik.

Sejak Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, misalnya, laporan hate speech dan hate crimes meningkat secara drastis.

Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin dan elite politik menentukan tone dari keseluruhan pembicaraan publik.

Kadang elite politik secara gegabah menggunakan terma-terma yang memecah-belah untuk kepentingan popularitas semata. Padahal, bagi rakyat yang mesti hidup berdampingan dan menghadapi kesulitan hidup tiap hari, kalimat itu sungguh menyakiti mereka.

Hal ini juga yang menyebabkan Australia semakin disorot setelah insiden ini yakni karena sikap salah satu elite politik mereka, yaitu Senator Fraser Anning dan cuitannya di Twitter yang menyalahkan penembakan Selandia Baru justru pada proses imigrasi dan para Muslim.

Kedua, social media itu berpengaruh. Seperti ISIS, kelompok teroris “white supremacist” ini mempergunakan platform media sosial untuk memperluas pengaruh terornya.

Facebook memang dikabarkan segera menghapus konten ini, namun nyatanya video tersebut masih dapat ditemukan beredar di sosmed, seperti Twitter, Youtube, atau WhatsApp.

Masih belum diketahui apakah kelompok ekstrem kanan ini juga melakukan perekrutan dan perluasan ideologinya melalui social media seperti ISIS.

Namun, jika melihat dari bagaimana mereka menyiapkan live streaming kejahatan ini di Facebook, baik sebelum dan ketika kebrutalan dijalankan, jelas social media telah menjadi unsur penting dari radikalisme mereka.

Facebook dituduh tidak melakukan tindakan yang cukup untuk menghentikan konten-konten kebencian, terlepas dari keuntungan besar sekitar 5 miliar dollar AS yang perusahaan itu dapatkan setiap 3 bulan.

Berdasarkan laporan The New York Timespada Desember 2018 berjudul “Inside Facebook’s Secret Rulebook for Global Political Speech”, kita dapat mengetahui bahwa saat ini ada sekitar 15.000 orang yang ditugaskan untuk memonitor konten Facebook di seluruh dunia.

Setiap Selasa, di headquarter Facebook akan ada rapat yang terdiri dari para engineer dan lawyer beserta buku panduan (guidelines) dan Power Point mereka yang akan menentukan kata-kata dan kalimat apa saja yang mengandung konten kekerasan dan kebencian.

Seringkali mereka kewalahan menangani konteks dan konsep yang amat variatif dari berbagai negara di dunia.

Mereka memiliki “The Hate List” atau daftar kelompok yang diblokir karena memproduksi kebencian.

Untuk Amerika, misalnya, mereka melarang Proud Boys, kelompok pendukung Trump yang ekstrem kanan dan cenderung white supremacist seperti kelompok penembak masjid Selandia Baru.

Sementara untuk Indonesia, sampai saat laporan itu diturunkan, yang terdaftar adalah FJI atau Front Jihad Indonesia. Kelompok lain yang telah dilarang oleh negara seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) belum termasuk dalam daftar.

Mungkin saat ini daftar itu telah diperbarui. Namun, berdasarkan paparan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa Facebook tidak sanggup bekerja sendirian.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna social media terbanyak harus berani menuntut agar berbagai perusahaan social media melibatkan seluruh pihak, seperti pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi sebagai perwakilan negara dalam mempertahankan demokrasi.

Hal lain yang dapat kita perhatikan sebagai individu atau pengguna social media adalah menjadi lebih selektif dalam mengunggah dan mengonsumsi konten-konten yang ada.

Poin ketiga dan terakhir adalah “kebijakan” itu berpengaruh. Pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya ketika mendengar insiden ini adalah, dari mana orang-orang bejat ini mendapatkan senapannya?

Ternyata di Selandia Baru, senjata api semi-otomatis memang relatif mudah dibeli karena legal dimiliki dengan beberapa restriksi tertentu.

Setelah peristiwa penembakan ini, jumlah pembelian senjata api meningkat secara pesat. Perdana Mentri Jacinda Arden dengan sigap memberi pernyataan bahwa mereka akan segera melihat kembali hukum mengenai kepemilikan senjata api.

Selain itu, kebijakan mengenai hate speechdan hate crime juga perlu diberi perhatian khusus. Seperti di Indonesia, ujaran kebencian di Selandia Baru belum diatur secara khusus, hanya dilarang dalam Human Rights Act 1993 di bawah Section 61 dan 131 sebagai “ketidakharmonisan rasial”.

Hate speech dan hate crime tidak disebut secara spesifik sebagai suatu delik meskipun jika ditemukan unsur kebencian di balik tindakan kriminal, akan dijadikan unsur yang menambah berat vonis/ hukuman.

Dengan situasi yang makin kompleks dan demografi yang berubah, mulai ada kebutuhan untuk membuat aturan khusus soal extraordinary crime ini.

Kebijakan yang secara khusus mengatur mengenai kebencian diharapkan dapat mempermudah studi lebih lanjut soal kejahatan kebencian, mempermudah pelaporan, pencatatan, sekaligus penindakan delik yang membawa kehancuran serius pada peradaban masyarakat modern.

Indonesia yang plural harus memperhatikan hal ini jika sungguh-sungguh ingin mempertahankan kesatuan dan melawan manifesto kebencian.

Tulisan : Orchida Ramadhania              (Kepala Informasi dan Komunikasi Riset, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia)

Sumber: kompas.co.id