Beberapa minggu yang lalu, persekutuan remaja mengangkat tema : “2 Dua Sudut Pandang” (versi anak). Melalui tema tersebut, kami membahas tentang sudut pandang anak terhadap orang tua masing-masing, baik dari perilaku orang tua kepada anak sampai pada penilaian tentang kelebihan dan kekurangan anak.
Tetapi sebenarnya tema ini merupakan tema berseri, dan selanjutnya, masih dengan tema yang sama tetapi fokusnya berbeda yakni sudut pandang orang tua kepada anak. Bertepatan saya yang dipercaya untuk mendampingi teman-teman remaja dalam membahas dan mendalami tema bagian sudut pandang anak, maka untuk membuka sharing tentang tema ini, saya memulainya dengan tiga pertanyaan, diantaranya : 1. Adakah aturan atau perintah di dalam keluarga anda yang seringkali membuat anda sebagai anak merasa tidak terima dengan adanya aturan atau perintah tersebut. 2. Apakah ada tindakan atau sikap orang tua yang membuat kita merasa tidak adil sebagai anak. 3. Apa harapan teman-teman untuk dilakukan oleh orang tua.
Saya mengajak setiap orang bersedia untuk sharing, dan pada intinya hampir 75% teman-teman mengatakan bahwa “dalam keluarga kami, setiap aturan dan perintah dapat kami terima, karena sejauh ini orang tua masih memberikan kami kebebasan untuk melakukan aktifitas kami”, tapi masih ada 25% yang kemudian menyampaikan bahwa “yang saya inginkan adalah orang tua saya dapat memahami kesibukan saya, dan kalau bisa jangan terlalu memaksa saya dengan apa yang menjadi harapan dari orang tua untuk saya lakukan”.
Hal lain yang kemudian terdengar dari sharing saat itu adalah, ada yang mengatakan bahwa “saya sering merasa bahwa aturan yang diperlakukan di dalam keluarga kami sedikit keras, tetapi kembali lagi saya bersyukur karena dengan adanya aturan itu saya semakin pintar untuk mengelola waktu yang ada, saya tetap dapat bermain tetapi kemudian tidak kebablasan dan juga punya waktu untuk mempersiapkan diri belajar”.
Ada juga yang sharing tentang sikap orang tuanya yang terlalu mengekangnya, sehingga lupa bahwa dia juga butuh waktu untuk istrahat. Seringkali orang tua saya lupa bahwa saya sedang capek, dan tetap meminta saya untuk berlatih apa yang belum bisa saya lakukan agar bisa lebih mahir supaya nantinya tidak bergantung kepada orang tua atau orang lain. Saya juga sering merasa bahwa saya kurang mendapat perhatian dari orang tua, merindukan suasana ketika ke sekolah diantar dan juga dijemput oleh orang tua, karena sampai sekarang kemana-mana saya lakukan sendiri.
Berlanjut pada pertanyaan yang kedua; teman-teman sepakat mengatakan bahwa kami merasakan orang tua kami sudah sangat baik dan menyayangi kami. Setelah itu berlanjut lagi pada pertanyaan ketiga, tentang harapan dari anak-anak yang perlu dilakukan orang tua untuk mereka. Sharing dalam pertanyaan yang terakhir cukup ramai karena ternyata setiap anak punya harapan tersendiri untuk orang tuanya. Namun intinya anak-anak berharap orang tua mampu menghargai mereka sebagaimana adanya mereka, dan juga menghargai apa yang mereka gemari atau sukai dan yang paling penting adalah selalu memberikan dukungan, apapun yang mereka lakukan ataupun yang sedang mereka perjuangkan tanpa harus melihat fisik, tetapi yang terpenting adalah kami punya keinginan untuk melakukan itu. Sangat bahagia jika orang tua mendukung kami dan selalu memberikan kami kepercayaan bahwa kami mampu melakukan itu, demikian ungkapan dari anak-anak.
Saya adalah seorang anak pendeta, sejak kecil saya sudah sangat terbiasa mendengar kalimat : jangan begitu kamu kan anak pendeta, kenapa tidak ibadah kan kamu anak pendeta harus jadi contoh untuk yang lain, jangan lari-lari di dalam gedung gereja, kan anak pendeta nanti diikuti anak lain. “kan anak pendeta” adalah kalimat yang paling saya benci, dan waktu kecil saya sering protes kenapa papa harus pendeta ? tidak kerja yang lain saja biar lebih aman.
Saya tidak bermaksud untuk curhat di sini, tetapi yang ingin saya sampaikan adalah, perkataan orang lain saja sudah sangat membelenggu saya semasa kecil, harapannya jangan sampai orang tua kita sendiri yang mengatakan hal itu. Pengaruh dari pengalaman masa kecil itu membentuk saya sampai saat ini. Waktu kuliah kami diwajibkan mengikuti tes kepribadian, yaitu tes Eneagram. Hasil dari tes tersebut adalah: saya adalah pribadi yang mengutamakan perasaan orang lain, ingin menyenangkan orang lain tidak peduli walaupun saya terluka asal orang lain bahagia, atau tipe ini disebut dengan orang yang ‘Yes man’.
Saya berpendapat mungkin karena terbiasa diberikan pemahaman ‘karena kamu anak pendeta tidak boleh nakal, tidak boleh memarahi orang, tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh salah’, maka sampai saat ini saya sering susah menolak karena merasa kalau menolak akan menyakiti orang lain, dan itu tidak boleh, karena saya anak pendeta.
Setelah sharing kami berefleksi bahwa setiap aturan maupun perintah dari orang tua adalah sebuah model atau malah kunci kesuksesan bagi kami saat ini atau ke depannya. Aturan atau perintah orang tua adalah sebuah alarm bagi kami untuk terus menjadi baik. Kami juga mensyukuri memiliki orang tua seperti saat ini, namun ada pesan terselubung di lubuk hati dan jika memungkinkan ingin mereka sampaikan; yang paling penting ialah biarkan kami memandang dunia sesuai dengan sudut pandang kami.
Mungkin saja orang tua melihat dunia ini tempat untuk ‘perlu berhati-hati’ tetapi menurut sudut pandang kami, dunia ini adalah tempat kami untuk belajar banyak hal. Maka pandanglah kami seperti seorang peneliti yang sedang menemui dunia luar untuk mencari tahu banyak hal sesuai dengan teori yang telah memperlengkapi kami, pandanglah kami sesuai dengan keberadaan kami apa adanya bukan melihat kami melalui kaca mata yang lain sehingga ada beberapa bagian yang terlihat berbeda atau malah masih kurang.
“Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab
kepada setiap orang”. (Kolose 4:6)
Penulis: Mike Makahenggang