Pagi ini saya mendapat kesempatan untuk mengantarkan seseorang ke Bandara Adi Sucipto. Ketika telah di pesawat, sambil menunggu take off, orang tersebut mengirim pesan WA “saya merasa sedih entah mengapa”.
Spontan saya menjawab “jangan takut, nggap saja kamu sedang berlibur sambil melayani di lokasi wisata yang lagi hits di Indonesia”.
Jangan takut’ adalah ungkapan yang muncul dari tafsiran saya, bahwa orang ini sedang gentar karena akan pergi ke tempat yang belum pernah dilihat dan tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Bahkan mendengarnya pun baru 3 atau 4 tahun belakangan ini.
Dalam perjalanan saya kembali, saya tiba-tiba teringat akan perenungan panjang saya di tempat “stage” selama 6 bulan (GKI Bogor Baru).
Ada 2 hal yang terus menjadi pergumulan sekaligus kekuatan bagi jemaat itu: Iman, amin, aman dan kasih karunia.
Pertama, iman, amin, aman. Iman seperti sesuatu yang memberikan kita daya untuk mengatakan amin. Sedangkan amin adalah penyerahan diri penuh yang membuat kita merasa aman.
Salah satu pengalaman iman yang saya pelajari dalam topik ini adalah Abraham. Abraham diperintahkan Allah untuk pergi ke tempat yang tidak pernah ia lihat, dengar, bahkan tidak pernah terlintas dalam pikirannya.
Membaca WA orang yang saya antar ke bandara tersebut, membuat saya teringat pada Abaraham. Mungkinkah Abraham seperti dia, merasakan kegentaran yang sama, ingin menangis rasanya, tetapi tetap saja berangkat.
Saat sedang memikirkan hal ini, kaki saya masuk dalam kubangan air di pinggir jalan, dekat pangkalan ojek tempat saya cari tumpangan pulang. Ketika menengok ujung sepatu saya yang basah, saya juga melihat bayangan baju saja dalam genangan air itu. Genangan air itu seperti cermin yang begitu jelas menujukkan diri saya sendiri.
Dengan ujung sepatu yang sedikit basah saya terus berjalan. Sampai dalam perjalanan itu saya menemui diri saya sendiri. Sekarang tidak hanya tentang orang yang baru saya antar, tetapi juga tentang diri sendiri. Karena orang yang saya antar tadi, dan iman Abraham mengingatkan saya tentang sudah cukup beranikah saya melangkah bahkan ke tempat yang mungkin tidak sesuai dengan perencanaan masa depan saya.
Ternyata iman itu adalah juga sesuatu yang butuh pergulatan hebat. Bergulat dengan diri sendiri. Bergulat dengan segala argumen pribadi yang sangat logis bahkan sangat realistis.
Lalu apakah iman bertolak belakang dengan logika? Bukan! iman bukan tidak perlu logika, justru iman adalah sesuatu yang berjalan bersama Logika dalam setiap langkah manusia. Mereka adalah sahabat. Karena iman juga adalah jawaban saat logika menemui batasnya.
Sekarang saya mulai berpikir bahwa haru, gentar, bahkan mencoba memikirkan plan B (seperti rencana lari dari panggilan itu) adalah sesuatu yang membuat pergumulan itu menjadi seni dan menggairahkan, menjadi kisah yang tidak mudah ditebak “ending”nya.
Keharmonisan antara iman dan logika yang menimbulkan banyak argumen dalam dirilah yang justru membuat pertimbangan itu menjadi matang dan menunjukkan betapa besarnya kasih karunia yang diberikan secara cuma-cuma bagi Abaram, orang yang saya antar itu dan saya sendiri, untuk melewati sesuatu yang begitu hebat bahkan melebihi batas kami.
Tanpa logika yang mengukur kesulitan tersebut, kasih karunia tidak akan pernah pernah terasa. Dan iman adalah daya yang memampukan seseorang untuk mengatakan amin dan mengangkat wajah sambil menatap ke depan dalam rasa aman.
Kedua, kasih karunia. Adalah sesuatu yang didapat secara cuma-cuma bahkan terkadang pada hal- hal yang kita tahu betul bahwa kita tidak pantas menerimanya. Panggilan adalah salah satu dari bentuk kasih karunia.
Percaya pun adalah kasih karunia. Berserah adalah upaya keras kita yang kita peroleh juga dengan kasih karunia dan pengampunan adalah kasih karunia. Saya tidak akan bercerita tentang poin kedua ini, sebab saya merasa yakin bahwa orang tersebut akan melanjutkan cerita ini😁
Save flight ya om! 😇
Oleh: Yuniati Lomi
Mahasiswa UKDW
Guru Sekolah Minggu GKJ Brayat Kinasih