GKJbrayatkinasih, Saparua- Perayaan hari besar agama adalah suatu perbuatan simbolik. Simbol adalah bentuk praksis dari pesan bermakna milik komunitas pembuat dan pemiliknya. Dalam dunia agama, simbol lalu dikitari oleh konsepsi sakral dan magis.
Penjelasan soal simbol itu disampaikan Pdt. E T Maspaitella, M.Si (Sekretaris Umum MPH Sinode GPM) pada acara Natal 2017 Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), yang berlangsung di Klasis GPM Pulau–Pulau Lease (05/01/2018) yang digelar oleh Panitia Hari Besar Gerejawi Tingkat Sinode GPM.
Simbol menurut Maspaitella adalah wujud dari cara masyarakat membahasakan pesan secara material sehingga menjadi tanda yang memiliki tujuan khas. Semua simbol di dalam agama, termasuk istilah atau slogan, menjadi penting bagi pemangkunya. Ketika simbol itu direproduksi secara kontekstual, terkadang terbangun beberapa aspek dan tujuan yang khas.
Pertama, makna dasar dari simbol itu tetap dipelihara sebagai konsep utama untuk memelihara legitimasi atau kesakralan simbol itu. Misalnya ketika pohon natal dibuat dari berbagai macam bahan, modelnya tetap dan tidak berubah. Pohon natal tanpa lampu kelap kelip pun disebut pohon natal. Lampu kelap kelip tanpa pohon natal pun demikian.
Kedua, reproduksi kontekstual suatu simbol mengandung pesan dan tujuan kekinian. Di sini pesan diproduksi menurut kepentingan pemberi makna simbol. Dengan sendirinya penggunaan suatu unsur material untuk membentuk simbol disesuaikan dengan pesan yang mau diserukan.
Ketiga, komunitas pemberi makna menjadikan simbol itu sebagai nilai pembentuk perilaku (attitude) komunitas. Artinya pesan khusus simbol harus terungkap dalam praksis bermasyarakat, urai Maspaitella.
Pada acara Natal 2017 Sinode GPM, pohon natalnya sengaja dibuat dari bahan sempe. Sempe adalah jenis kerajinan gerabah asal Negeri Ouw, Pulau Saparua, Maluku Tengah. Sempe dibuat dari tanah liat yang dibentuk dan dibakar dalam tungku kayu. Sempe adalah simbol kemakmuran orang Ouw sekaligus perkakas ekonomi rumah tangga utama masyarakat Maluku (Tengah), sebab sempe adalah wadah untuk “tuang papeda”, makanan pokok orang Maluku.
Susunan sempe membentuk pohon natal adalah simbol khas kekristenan di masa perayaan Natal. Ide untuk membuatnya muncul dengan tujuan untuk mengingatkan jemaat dan Gereja Protestan Maluku secara khusus bahwa pemberdayaan ekonomi rumah tangga harus terus dipacu karena Tuhan selalu beserta orang-orang yang giat bekerja. Di sisi lain bahwa kita hidup dari berkat yang sudah Tuhan sediakan di dalam rumah, di negeri, di kota dan di bangsa kita sendiri. Itu bukti penyertaan Tuhan.
Selain pohon natal sempe, juga ada “gusepa”, alat transportasi tradisional di Maluku yang dirangkai dari limbah plastik. Gusepa juga sering menjadi alat permainan anak-anak di pesisir dan bantaran sungai. Dalam beberapa cerita migrasi leluhur yang kemudian melahirkan ikatan pela/gandong, gusepa menjadi alat transportasi leluhur. Pada perayaan Natal ini, Gusepa dari sampah plastik digunakan sebagai altar pelayanan liturgis. Pesan yang mau disampaikan ialah perhatian gereja pada kelestarian dan kebersihan lingkungan.
GPM di tahun 2018 memberi fokus pada advokasi hak hidup manusia dan alam. Sebab itu daur ulang sampah plastik merupakan salah satu wujud dari upaya tersebut. Bahkan, Klasis GPM Pulau-pulau Lease sebagai lingkungan (habitus) di mana simbol ini direproduksi telah melakukan kerjasama dengan Yayasan Green Moluccas serta Universitas Pattimura untuk memproduksi sampah menjadi komoditi bernilai ekonomi.
Suguhan kedua simbol itu membuat Natal memiliki makna yang khas, yang kiranya melahirkan mentalitas yang baru kepada umat, yakni pemberdayaan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup, pungkas Maspaitella mengurai Nilai di balik simbol sempe dan sampah plastik. (Disadur dari pgi.or.id)