GKJbrayatkinasih, Jakarta- Pergulatan regional yang panjang telah membentuk memori kolektif yang berdampak pada konstruksi pendidikan agama di sejumlah negara di wilayah Asia Tenggara. Hal ini mengemuka dalam hari kedua pelaksanaan Workshop on Violent Extremism and Religious Education in Southeast Asia, di Jakarta (12/12/2017).
Arnold P. Alamon, direktur institut lintas iman di Mindanao, menunjukan sebuah studi yang memperlihatkan bagaimana penegasan identitas nasional di Filipina, yang berlangsung dalam waktu panjang, berdampak pada pendidikan berbasis komunitas. Tentu, selain pergulatan identitas nasional, ada juga ketidakadilan dalam masalah sumber daya alam.
Di kalangan masyarakat adat (indigenous people), ketidakadilan ini menimbulkan penolakan terhadap pendidikan yang dibangun pemerintah untuk menegaskan identitas nasional. Represi dan eksploitasi menjadi memori kolektif yang pahit bagi masyarakat adat, dan karena itu pendidikan privat berbasis komunitas menjadi jalan untuk mempertegas identitas budaya dan pandangan dunia masyarkat adat. Di dalamnya, berlangsung resistensi terhadap kurikulum nasional (national based-curriculum).
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada komunitas Islam di Filipina. Bagi Alamon, pengalaman tereksklusi dari masyarakat, kepahitan di masa Ferdinand Marcos dan hal-hal yang menyakitkan terkait perlawanan terhadap terorisme oleh Rodrigo Duterte memberikan kontribusi terhadap pendidikan berbasis komunitas di kalangan Islam. Di sini integrasi ke dalam kurikulum nasional menjadi rumit. Apa yang kemudian berkembang adalah radikalisasi yang terhubung dengan beberapa hal seperti ketidakpuasan, rendahnya keadilan distributif dan interaksional, model pendidikan mendorong pembedaan antara “kita” dan “mereka”, cara berpikir kategoris yang lebih mementingkan akhir (end) dan persoalan moral.
Myanmar juga memperlihatkan bertumbuhnya radikalisme yang berjalan bersamaan dengan politisasi isu-isu agama di ruang publik. Hal ini berdampak pada dunia pendidikan, khususnya terkait peran pendidikan bagi kohesi sosial di Myanmar. Masing-masing komunitas mengembangkan pendidikan privat di mana segregasi identitas berlangsung di dalamnya. Persoalan bertambah rumit dengan penggunaan media sosial secara tidak bertanggungjawab untuk menyebarkan berita bohong (false news).
Indonesia memperlihatkan corak sedikit berbeda mengingat adanya peran dari dua organisasi mainstream Islam dalam dunia pendidikan, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah.
Namun, sebagaimana di singgung Azyumardi Azra, anggota dewan penasehat PPIM UIM, terjadi infiltrasi dari kelompok Wahabi dan Salafi di sekolah-sekolah. Karena itu, ada tantangan untuk segera memperbaiki kualitas para guru dan supervisi terhadap kelompok-kelompok studi agama yang kadang menjadi pintu masuk bagi radikalisasi agama.
Dalam diskusi kelompok, disadari bahwa adanya proses radikalisasi terhadap kalangan muda di sejumlah lokasi dan minimnya isu gender dalam pendidikan agama . Oleh karena itu, pendampingan harus dibaca tidak sekedar tanggungjawab orang tua. Dibutuhkan peran komunitas untuk ambil bagian dalam mendampingi generasi muda. Selain itu, dibutuhkan ruang bagi isu gender dalam pendidikan agama. (Sumber: pgi.or.id)