GKJBrayatKinasih – Paskah telah dirayakan sebelum gereja mengenal tradisi perayaan Paskah. Sejak abad ke-2, Paskah merupakan perayaan Kristen yang paling penting. Peristiwa Paskah adalah dasar, titik tolak, dan pusat iman Kristen.
Keempat Injil dan seluruh kitab Perjanjian Baru mencatat terjadinya peristiwa Paskah, yaitu hari Kebangkitan Yesus dari kubur. Rasul Paulus menuliskan, “Andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sia jugalah kepercayaan kamu.” (1Kor.15:14).
Paskah Perjanjian Lama
Di dalam Perjanjian Lama, Paskah atau “Passover” atau “Pesakh” (Ibrani) atau “Pascha” (Yunani) adalah perayaan pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir, di mana pada saat itu diadakan upacara “roti tidak beragi” dan “persembahan anak sulung” dengan “upacara korban domba paskah”, dan merupakan perintah Tuhan agar dikenang oleh Musa dan bani Israel (Kel 12:14,17,21). Pada masa lalu, umat Allah merayakan Paskah dalam berbagai lambang, karena seperti yang dinyatakan dalam Kolose 2:17 dan Ibrani 10:1, hari raya pada masa Perjanjian Lama adalah bayangan dari apa yang akan datang, dan wujudnya adalah Kristus. Pada masa kini, Gereja Tuhan di seluruh dunia merayakan Paskah dalam arti yang sesungguhnya dan sempurna yaitu Kristus Anak Domba Paskah (1 Kor 5:7-8).
Paskah Perjanjian Baru
Sejalan dengan makna Paskah dalam Perjanjian Lama, Paskah dalam Perjanjian Baru menunjukkan kasih, anugerah, dan kuasa Allah yang meluputkan umat milik-Nya dari kutuk dan maut, membebaskan orang percaya dari perbudakan dosa serta memberikan kepastian kebangkitan kekal di akhir zaman, melalui kebangkitan Kristus. Peristiwa penyaliban, kematian dan kebangkitan Kristus bukan saja mempunyai makna keluaran yang sama dengan Paskah Yahudi. Upacara perjamuan makan “Roti tidak Beragi” yang diadakan pada hari Jumat malam kemudian menjadi “Upacara Perjamuan Malam” yang dilakukan oleh Yesus dan rasulnya. Upacara perjamuan itu kemudian dijadikan peringatan “jumat agung” dalam kalender Kristen. Sekalipun begitu, upacara makan roti perjamuan juga dirayakan setiap umat bertemu dalam persekutuan. Upacara makan roti perjamuan itu menyiapkan penebusan Yesus, dimana Ia menjadi “Dombah Paskah” disalibkan (Yoh.20:1,19,26; Kis.20:1; Kor.16:2;Wah.1:10
Perayaan mingguan mengenang kebangkitan Yesus inilah yang membuktikan dengan jelas bahwa peristiwa kebangkitan Yesus terjadi dalam sejarah, dalam ruang dan waktu, sebab dalam perayaan “Sabat” yang begitu ketat diikuti oleh umat yahudi dalam praktik umat kristiani (terutama Yahudi Kristen) telah bergeser menjadi “Hari Tuhan” yaitu kenangan akan hari kebangkitan.
Paskah Tradisi Yahudi
Dalam tradisi Yahudi yang lazim sampai saat ini, kepala keluarga mengucapkan puji-pujian lalu mengedarkan cawan anggur pertama. Makanan kecil disajikan sebagai hidangan pendahuluan. Kemudian cawan anggur yang kedua diedarkan. Lalu ada seorang anak laki-laki harus bertanya, “Apa arti semua upacara ini?” kepala keluarga menjawab dengan membacakan kitab Ulangan 26:5-11. Pembacaan kitab suci kemudian disambut dengan menyanyikan salah satu Mazmur, biasanya mazmur 113-118. Sesudah kepala keluarga membagikan roti yang tidak beragi, daging anak domba dan kuah pahit, lalu cawan anggur yang ketiga diedarkan. Setelah semua selesai makan, mereka menyanyikan bagian kedua dari Mazmur. Biasanya nyanyian-nyanyian itu diakhiri dengan mengulang beberapa ayat tertentu. Perayaan ini diakhiri dengan cawan anggur keempat sebagai cawan perpisahan. Perjamuan Paskah Yahudi seperti itulah yang dirayakan Yesus bersama murid-murid-Nya seperti yang dicatat dalam Injil Lukas 22.
Penetapan tanggal Paskah
Tanggal untuk hari Paskah setiap tahun selalu berubah dan tidak sama. Berbeda dengan hari Natal, Paskah tidak punya tanggal yang tetap, bulannya pun tidak tetap. Kadang bulan Maret, kadang bulan April. Mengapa begitu? Gereja mula-mula tidak pernah direpotkan dengan persoalan tanggal Paskah. Mereka merayakan Paskah setiap hari Minggu, yaitu hari terjadinya peristiwa kebangkitan Yesus. Bagi mereka, setiap hari Minggu adalah hari Paskah. Baru pada abad kedua mulai mengkhususkan hari Minggu tertentu untuk dirayakan sebagai hari Paskah setahun sekali. Persoalan yang timbul kemudian, tanggal manakah yang sebaiknya dipilih sebagai hari Paskah tahunan itu? Jemaat Kristen Yahudi berpendapat, bahwa Paskah sebaiknya dirayakan sebagai pengganti Paskah Yahudi. Jadi, tanggalnya adalah hari ke-14 dalam bulan Nisan (bulan pertama dalam kalender Yahudi sesudah pembuangan babel bersamaan dengan bulan Maret dalam kelender Masehi), tanpa mempersoalkan hari. Lain halnya dengan jemaat-jemaat Kristen yang berasal dari bangsa-bangsa non-Yahudi. Mereka berpendapat bahwa Paskah dirayakan pada hari Minggu. Yang masalahnya hari Minggu yang mana? Pada tahun 325, dalam persidangan gereja di Nicea, ditetapkan dengan resmi sebuah patokan bersama untuk menetapkan tanggal peringatan Paskah. Patokan itu adalah Paskah dirayakan pada hari Minggu pertama sesudah bulan purnama yang jatuh pada tanggal 21 Maret atau sesudahnya, yaitu tanggal permulaan musim semi, apabila bulan purnama itu jatuh pada hari Minggu, Paskah akan dirayakan pada hari Minggu berikutnya. Keputusan tersebut dipegang terus oleh semua gereja di dunia hingga saat ini. Dengan patokan itu, setiap tahun Paskah jatuh antara tanggal 22 Maret – 27 April. Kalau Paskah sudah kita ketahui, akan mudah menentukan hari raya gerejawi lain di sekitar Paskah, seperti Jumat Agung (tiga hari sebelum Paskah), kenaikan Tuhan Yesus (40 hari sesudah Paskah), dan Pentakosta (50 hari sesudah Paskah).
Penetapan ibadah Minggu
Hari kebaktian yang ditetapkan oleh sepuluh perintah Allah adalah sabat, yaitu hari ketujuh, atau sekarang disebut hari Sabtu. Gereja mula-mula pun berbakti pada hari Sabtu. Namun, kemudian gereja mengalihkan kebaktiannya pada hari Minggu. Perubahan ini terjadi tidak terlalu lama sesudah kebangkitan Yesus. (kis 20:7; 1 Kor 16:2). Perubahan kebaktian dari Sabtu menjadi Minggu ini merupakan satu keputusan yang drastis, mengingat pada waktu itu kebanyakan terdiri dari orang-orang Yahudi, yang ingin terus memegang tradisi Sabat. Dasar perubahan itu adalah bahwa hari Sabat (Sabtu) adalah bayangan dari apa yang harus datang, dan mereka memandang kebangkitan Kristus sebagai peristiwa yang besar sehingga mereka merayakannya setiap hari Minggu. Pada akhir abad pertama, gereja lazim menyambut hari Minggu sebagai “hari Tuhan” sebutan ini kita temui dalam Wahyu 1:10, sebutan “hari Minggu” dalam bahasa kita sebenarnya juga berarti “hari Tuhan” sebab kata Minggu itu sendiri berasal dari kata Portugis “Dominggo” yang artinya Hari Tuhan. Karena gereja mula-mula selalu merayakan hari Minggu sebagai hari kebaktian atau ibadah, lambat laun kebiasaan itu diterima oleh masyarakat pada tahun 321, Kaisar Kostantinus dengan undang-undang menetapkan hari minggu sebagai hari libur di seluruh wilayah kekaisarannya. Dari ketetapan itu, yang kemudian mendunia (Universal), kini dunia mengenal hari Minggu sebagai hari libur. (Sumber : Situs Paskah Indonesia)