Home » Artikel » Kelangkaan Air Bersih Yang Mengancam Pulau Jawa

Kelangkaan Air Bersih Yang Mengancam Pulau Jawa

Kelangkaan Air Bersih Yang Mengancam Pulau Jawa

oleh Pdt. Budi Cahyono

 Air merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa air, karena itulah air merupakan salah satu penopang hidup bagi manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah ruah, namun yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari total jumlah air yang ada, hanya 5% saja yang tersedia sebagai air minum, sedangkan sisanya adalah air laut.

  1. SEKILAS MENGENAI KONTEKS INDONESIA

Indonesia merupakan negara ke-3 di dunia (setelah Brazil dan Kanada) yang kaya akan sumber daya air, dimana ketersediaan air mencapai 15.500 m3 per kapita per tahun. Ini masih jauh di atas ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 m3 per tahun.

Namun, ironisnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mengalami kelangkaan air bersih. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum mampu memiliki akses langsung terhadap air bersih. Sedangkan rakyat Indonesia yang memiliki akses langsung terhadap air bersih rata-rata mendapatkannya dari: perusahaan penyalur air milik pemerintah (PDAM), usaha air secara swadaya masyarakat, sumur air, serta pembelian air kemasan.

Pengelolaan air yang buruklah yang mengakibatkan tidak meratanya penyebaran air. Hal ini tentu berdampak pada kemampuan masyarakat miskin untuk menikmati air bersih. Pada kenyataannya kalangan masyarakat miskin memang tidak mempunyai akses terhadap air bersih (kira-kira 119 juta orang). Bahkan, masyarakat miskin harus membayar jauh lebih mahal guna mendapatkan air bersih tersebut, sehingga ketika banyak dari mereka yang tidak sanggup membayar terpaksa harus menggunakan air yang tidak bersih. Konsumsi air yang tidak bersih inilah yang kemudian menyebabkan mewabahnya berbagai penyakit, yakni: Berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kandungan logam berat (gangguan ginjal, saraf dan jantung karena Merkuri; keguguran, kelahiran prematur, kematian janin dan gangguan mental karena Timbal; ganguan pembuluh darah dan serangan jantung karena Kadnium; edema karena Kobalt; dsb), Water Based Disease (penyakit yang disebabkan oleh organisme akuatik, yang menghabiskan sebagian dari siklus hidupnya di air dan selanjutnya tumbuh sebagai hewan parasit. Inilah pembawa penyakit yang hidup di air. Bilharzia, yang dibawa oleh siput air, adalah salah satu contohnya. Yang lain adalah cacing Guinea; infeksi karena cacing seringkali didapat dari air yang terkontaminasi oleh kutu air kecil yang dibawa oleh larva cacing Guinea), Water Borne Disease (penyakit yang ditularkan melalui air minum yang terkontaminasi. Contohnya adalah: tipus, kolera, disentri, dan diare), Water Bred Disease (hewan pembawa penyakit yang hidupnya di air dan menyebarkan penyakit dengan cara menggigit korbannya. Penyakit jenis ini, yang sangat mempengaruhi hidup manusia di seluruh dunia adalah: malaria dan demam berdarah, yang penularannya dilakukan oleh nyamuk. Penyakit jenis lain, yang berpengaruh pada hidup ternak adalah penyakit tidur, yang penyebarannya dilakukan oleh lalat tsetse).

Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan air yang buruk ini telah menempatkan Indonesia pada peringkat terendah di dunia dalam hal pengelolaan air bersih. Laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) tentang Millennium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik tahun 2006 menyebutkan bahwa Indonesia berada dalam peringkat terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.

  1. SEKILAS MENGENAI KONTEKS PULAU JAWA

Secara topografi, dapatlah digambarkan bahwa Pulau Jawa adalah sebagai berikut:

Bagian utara Pulau Jawa berupa dataran rendah yang luas, yang umumnya mempunyai sungai-sungai lebar dan panjang (sampai 50 km) yang bermuara ke Laut Jawa. Sedangkan di bagian tengah Pulau Jawa terdapat deretan pegunungan yang merupakan tempat hulu-hulu sungai utama. Di bagian selatan terdapat wilayah yang topografinya bervariasi dari dataran rendah, pegunungan dan wilayah patahan-patahan. Di wilayah bagian selatan ini terdapat sungai-sungai besar yang bermuara ke Samudera Hindia, tetapi tidak sebanyak dan sepanjang sungai-sungai di bagian utara (panjang sungai umumnya hanya antara 20-40 km). Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya Pulau Jawa adalah pulau yang berlimpah air.

Daratan Pulau Jawa adalah seluas 126.700 km2, ini merupakan pulau terluas ke-13 di dunia. Namun lebih dari 70% areal daratan pulau ini telah menjadi areal pemukiman dan perindustrian. Pulau Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya di Indonesia. Menurut BPS (Biro Pusat Statistik), jumlah penduduk Pulau Jawa pada tahun 2010, adalah 136 juta jiwa, dan diperkirakan akan menjadi 150 juta pada tahun 2015. Itu berarti sekitar 60% dari total jumlah penduduk Indonesia (sekitar 250 juta jiwa). Kepadatan penduduk di Pulau Jawa adalah sekitar 1.029 orang per km2. Tingginya kepadatan penduduk ini tentu mendorong pula tingginya kebutuhan air.

Setiap tahun populasi di Pulau Jawa semakin meningkat, dan itu artinya semakin besar pula kebutuhan akan air bersih.Tingginya kebutuhan air di Pulau Jawa ini dapatlah digambarkan sebagai berikut:

Namun, menurut data yang dilaporkan oleh Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia, ketersediaan air di Pulau Jawa pada tahun 2000 hanyalah 1.750 m3 per kapita per tahun, dan selanjutnya diperkirakan akan terus menurun hingga 1.200 m3 per kapita per tahun pada tahun 2020. Padahal, standar kecukupan minimal seharusnya 2.000 m3 per kapita per tahun. Ini berarti ketersediaan air di Pulau Jawa tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup masyarakatnya.

Hal ini terjadi, bukan hanya karena penduduk di Pulau Jawa semakin bertambah padat, namun juga karena jumlah sumber-sumber air di Jawa juga semakin berkurang. Berdasarkan perhitungan kebutuhan air yang dilakukan Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Timur telah mengalami defisit air sejak 20 tahun terakhir, terutama pada musim kemarau. Defisit air ini akan terus bertambah parah akibat pertambahan penduduk dan meningkatnya kegiatan ekonomi. Data penelitian Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 150 juta (60%) penduduk Indonesia, yang tinggal di Pulau Jawa, hidup dengan kapasitas kandungan air yang hanya 4,5% saja. Tentu hal itu tidak menjamin adanya daya dukung kehidupan.

  1. PENYEBAB TERJADINYA KRISIS AIR BERSIH DI PULAU JAWA

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa penyebab utama terjadinya krisis air bersih di Pulau Jawa tak lain adalah melonjaknya pertumbuhan jumlah penduduk yang melampaui tersedianya daya kecukupan air. Memang inilah penyebab utamanya, namun ini semakin diperparah dengan berkurangnya jumlah sumber-sumber air yang ada. Sehingga ketika jumlah penduduk semakin meningkat, ketersediaan air bukannya tetap, namun justru semakin berkurang.

Semakin menipisnya jumlah sumber-sumber air yang ada itu tak lain disebabkan karena:

  1. Deforestasi. Terjadinya banyak kasus alih fungsi hutan menjadi area perumahan dan perindustrian membuat daerah resapan air menjadi berkurang. Ketika daerah resapan air ini menjadi berkurang, maka air hujan, yang seharusnya bisa menjadi sumber air dalam tanah, justru menjadi air larian (run off). Banyaknya air larian dalam setiap musim hujan inilah yang menjadi penyebab banjir, terutama kawasan di sekitar aliran sungai-sungai besar, terutama Sungai Brantas. Selain menyebabkan banjir, berkurangnya daya resap tanah terhadap air itu pun mengurangi cadangan air bersih dalam tanah. Menurut data BPLH, dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang rata-rata turun tiap tahun, hanya 26,6 % yang terserap ke dalam tanah. Sementara sisanya, 73,4%, menjadi air larian yang berpotensi menimbulkan terjadinya banjir.
  2. Eksploitasi air dalam tanah yang dilakukan secara seenaknya. Eksploitasi air dalam tanah dengan pompa elektrik, terutama untuk kebutuhan rumah tangga (hingga mencapai angka 70%), bebas dilakukan oleh siapa saja tanpa ada peringatan dan sanksi khusus. Padahal Badan Geologi ESDM telah mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara tropis yang kaya dengan air permukaan, sehingga pemanfaatan air tanah merupakan upaya terakhir apabila kita sudah tidak bisa lagi memanfaatkan air permukaan.  Sebab air dalam tanah merupakan sumberdaya alam yang terbatas, kerusakannya sulit dipulihkan, sehingga segala bentuk penggunaan air haruslah mengutamakan air permukaan. Pemikiran ini telah dikukuhkan melalui UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Menteri ESDM No. 15 tahun 2012 tentang Penghematan Penggunaan Air Tanah.

Jika eksploitasi air dalam tanah ini berlangsung terus menerus, maka dampak negatif yang ditimbulkannya adalah: penurunan muka air tanah, intrusi air laut (pergerakan air asin dari laut ke darat), dan amblesnya tanah.  Selanjutnya akibat inilah yang memicu terjadinya: banjir dan tanah longsor, bahkan yang lebih parah: menipisnya ketersediaan air bersih.

  1. Kebijakan pemerintah yang kurang baik. Salah satu kebijakan pemerintah yang kurang baik ini adalah berkenaan dengan Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, pasal 6 ayat 4, pasal 8 ayat 2 dan pasal 9 ayat 1. Dalam undang-undang itu diatur bahwa siapapun (perseorangan atau badan usaha) diperbolehkan memiliki hak guna pakai air, asalkan telah mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Sejak lahirnya peraturan tersebut pada tanggal 19 Februari 2004, Peraturan Daerah (Perda) yang terkait privatisasi air kian menjamur, sebab berdasarkan peraturan tersebut ada peluang privatisasi di sektor penyediaan air bersih, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha swasta dan individu. Akibatnya, yang terjadi adalah komersialisasi air, siapapun yang memiliki dana dan mampu mengurus perizinan merekalah yang akan mampu menguasai lahan-lahan sumber daya air. Eksploitasi air secara berlebihan ini pada umumnya adalah untuk kepentingan industri (pabrik-pabrik), pertambangan, dan pariwisata (hotel-hotel dan kolam renang). Sedangkan masyarakat kalangan menengah ke bawah akhirnya justru mengalami defisit air bersih.

Selain menipisnya jumlah sumber-sumber air yang ada, masalah lain yang turut menyebabkan kelangkaan air bersih adalah: polusi air. Terjadinya pencemaran air di Pulau Jawa ini umumnya diakibatkan oleh adanya :

  1. Kebiasaan hidup penduduk yang buruk. Penduduk yang bermukim di perumahan-perumahan di sepanjang bantaran sungai masih memiliki kebiasaan hidup yang buruk, yakni: mandi dan mencuci di sungai. Akibatnya, limbah deterjen sangat dominan mengotori air sungai. Di Jawa diperkirakan 60% sungainya sudah tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli yang dapat menjadi penyebab diare. Menurut data dari Departemen Kesehatan, tahun 2002 telah terjadi 5.789 kasus diare yang menyebabkan 94 orang meninggal. Di Yogyakarta, menurut Majalah Tempo, Maret 2014, tingkat pencemaran air di 4 sungai Kota Yogyakarta sudah melebihi ambang batas baku mutu yang ditetapkan. Empat sungai itu yakni: Kali Code, Winongo, Gajah Wong, dan Manunggal. Pencemaran meningkat akibat pengaruh limbah sampah domestik yang kian tak terkontrol. Selain sungai, sebagian besar (70%) sumur penduduk di wilayah Kota Yogyakarta tercemar escherichia coli. Kedua hal ini dipaparkankan langsung oleh Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Lingkungan BLH Kota Yogyakarta.
  2. Pencemaran sungai yang dilakukan industri pabrikan karena tidak memiliki sarana Instalasi Pengolahan Air Limbah (atau: IPAL) yang baik. Setiap harinya, sebanyak 775 ton polutan mencemari air di Indonesia. Indonesia merupakan negara urutan nomor 6 dalam hal ini. Urutan pertama adalah China, kedua Amerika Serikat, dan ketiga India (semua negara ini memiliki industri besar-besaran). Di Yogyakarta sendiri, sebagai contohnya: industri-industri kecil, terutama industri sablon, merupakan salah satu industri penghasil limbah cair. Pada umumnya pembuangan limbahnya dilakukan langsung ke selokan air tanpa pengolahan terlebih dahulu. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran air karena limbah tersebut mengandung unsur toksik yang tinggi. Bahan pencemar industri sablon berasal dari proses pewarnaan, proses produksi film dan pelat processor. Bahan pencemar ini terdapat di tinta warna, bahan pelarut, bahan pencair dan bahan pengering. Bahan pencemar mengandung unsur/bahan kimia berbahaya seperti alkohol/aseton dan esternya serta logam berat seperti krom, cobalt, mangan dan timah. Industri sablon di daerah Monjali Yogyakarta adalah salah satu penghasil limbah cair sablon yang cukup tinggi.
  3. Intrusi air laut ke daratan. Proses intrusi (perembesan) air laut ini dapat terjadi karena kegiatan penyedotan air dalam tanah yang terjadi secara besar-besaran untuk kepentingan industri (pabrik-pabrik), pertambangan, dan pariwisata (hotel-hotel dan kolam renang). Sebab ketika cadangan air dalam tanah mulai menipis, penyedotan yang kuat itu akan menarik rembesan air laut menuju ke daratan. Inilah yang pada akhirnya justru dapat mengontaminasi sumber air bersih yang ada di bawah permukaan tanah.

Dapat kita bayangkan bahwa sampai dengan tahun 2015, jumlah seluruh hotel di Kota Yogyakarta adalah 128 lokasi, 64 buah di antaranya adalah termasuk kategori hotel berbintang 1 sampai 5. Pada umumnya hotel-hotel mewah ini pasti mempunyai fasilitas kolam renang dan pemandian air hangat, dimana airnya mereka dapatkan dengan jalan melakukan penyedotan dengan sumur-sumur pompa berskala besar ke dalam tanah. Belum lagi, kawasan perumahan di kota ini pada umumnya mendapatkan sumber airnya juga dari sumur-sumur pompa listrik. Memang pompa listrik di perumahan adalah pompa berskala kecil, namun jika jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu, hal ini pun mampu menjadi pencetus bencana yang besar.

  1. REFLEKSI TEOLOGIS MELALUI ISI ULANGAN 22:6-7

“Apabila engkau menemui di jalan sarang burung di salah satu pohon atau di tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di dalamnya, dan induknya sedang duduk mendekap anak-anak atau telur-telur itu, maka janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak-anaknya. Setidak-tidaknya induk itu haruslah kaulepaskan, tetapi anak-anaknya boleh kauambil. Maksudnya supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu.”

Burung, anak-anak burung, dan telur-telurnya merupakan representasi terhadap alam. Melalui 2 ayat ini Kitab Ulangan mengajarkan kepada kita bahwa alam –– seluruh ciptaan non-manusia –– adalah “sesama” yang tidak boleh diremehkan. Alam ini bukanlah sesuatu yang begitu saja bisa ditempatkan di bawah kekuasaan manusia, sehingga lalu bisa dimanfaatkan dengan seenaknya. Oleh sebab itu dalam Taurat, seperti yang telah ditampilkan melalui 2 ayat ini, kepedulian terhadap pelestarian segala ciptaan ditetapkan sebagai sebuah perintah yang wajib dilakukan. Manusia tidak boleh hanya mendewakan kepentingan dirinya sendiri, sehingga menghalalkan segala bentuk eksploitasi, yang pada akhirnya berpotensi memusnahkan semuanya.

Memang, perintah dalam ay. 6-7 ini seharusnya dipahami sebagai usaha untuk mencegah terjadinya kemusnahan terhadap alam. Sebab dengan membiarkan sang induk burung pergi, maka diharapkan agar kelak induk ini dapat bertelur lagi serta semakin berkembang biak. Jika kelangsungan hidup burung yang boleh dimakan itu terus dijaga, pada akhirnya manusia pemangsanya pun akan ikut menikmati keuntungan juga. Karena manusia akan terjamin mendapatkan makanannya. Inilah yang menjadi alasan mengapa pada akhir ay. 7 dikatakan “supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu”. Pemikiran yang terarah menuju ke masa depan dipikirkan oleh kitab Ulangan ini. Jika masa depan alam berada dalam bahaya, maka sebenarnya masa depan manusia juga akan berada dalam bahaya.

Selain itu, isi 2 ayat yang disajikan oleh Kitab Ulangan ini juga memberi peluang pada tercetusnya penghargaan terhadap nilai bawaan (inherent value) dan nilai hakiki (intrinsic value) yang dimiliki oleh seluruh ciptaan, yang membuat alam juga seharusnya dihormati karena keberadaannya. Maka superioritas manusia yang seringkali menganggap bahwa hanya dirinyalah yang mempunyai nilai intrinsik –– sedangkan ciptaan lainnya dipandang sebagai sesuatu yang sekedar memiliki nilai instrumental, yakni sebagai sarana dalam pencapaian tujuan-tujuan hidup manusia –– jelas ditolak dalam kitab ini. Seluruh ciptaan tidak diciptakan hanya demi kepentingan manusia, sebab mereka diciptakan demi kemuliaan Allah. Oleh sebab itu manusia seharusnya mau memperlakukan alam ini sebagai subjek dalam kehidupan.

Maka dapatlah disimpulkan bahwa Kitab Ulangan ini sedang mengajak kita untuk menyadari bahwa manusia seharusnya berperan untuk memanfaatkan kekuasaan mereka dalam hal pengelolaan, pemeliharaan, dan mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan, dan bukan kekuasaan hanya untuk eksploitasi besar-besaran tanpa mempertimbangkan upaya konservasi. Manusia memang diberi hak untuk ‘memakainya’, tetapi itu bukan berarti ‘menghabiskannya’.

  1. STRATEGI GEREJA DALAM UPAYA IKUT MENJAGA KETERSEDIAAN AIR BERSIH

Dengan merenungkan pemahaman teologis melalui isi Ulangan 22:6-7, dan mempertimbangkan konteks permasalahan air bersih, baik yang secara umum terjadi di Indonesia maupun yang secara khusus di Pulau Jawa, maka lembaga gereja seharusnya mau berinisiatif untuk ikut berperan serta menjaga ketersediaan air bersih melalui program diakonal gerejawi.

Dalam rangka ini, maka bentuk program strategis yang seyogyanya diupayakan, di antaranya:

  1. Memampukan warga Kristen untuk mampu menggalang kerja sama dengan pemerintah, organisasi masyarakat swasta dan golongan beragama lain dalam upaya pelestarian sumber-sumber air bersih alami sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Kerja sama ini didasarkan atas kesadaran bahwa krisis air bersih bukanlah masalah yang dihadapi oleh kelompok tertentu, melainkan merupakan masalah bersama yang perlu mendapatkan tanggapan serius oleh seluruh umat dari semua golongan. Jika berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 2004 dimungkinkan terbukanya peluang terhadap privatisasi sumber-sumber air bersih alami, maka hal itu perlu diantisipasi. Izin dari pemerintah daerah terkait perlu mendapatkan koreksi dari semua golongan masyarakat agar sumber-sumber air bersih itu tidak dengan secara mudah dikuasai dan jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan swasta yang hanya ingin mencari keuntungan pribadi. Sebab pemanfaatan sumber-sumber air itu seharusnya dapat ditujukan bagi kesejahteraan seluruh penduduk di sekitarnya, terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah. Selain itu, upaya pelestariannya pun perlu mendapatkan prioritas utama oleh pemerintah terkait, dengan didorong oleh desakan masyarakat, demi keberlangsungan hidup daerah tersebut. Hal ini sangat perlu dilakukan dengan serius.
  2. Pemanfaatan teknologi penyaringan tadah hujan. Telah dipaparkan di atas, bahwa hujan sebetulnya merupakan sumber cadangan air bersih yang melimpah. Maka sayang jika lebih dari 70% air hujan akhirnya justru menjadi air larian (run-off water) yang berpotensi menimbulkan terjadinya banjir. Alangkah baiknya jika air hujan itu dapat ditampung, sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, khususnya di saat musim kemarau. Teknologi penampungan dan penyaringan air hujan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari cara yang sederhana hingga cara yang lebih canggih.
  3. Penyadaran mengenai pentingnya air bersih dan upaya melestarikannya melalui program kegiatan pembinaan gerejawi dan pendidikan di sekolah-sekolah Kristen. Gereja merupakan suatu lembaga agama yang mempunyai banyak anggota dari berbagai kalangan, selain itu beberapa di antaranya juga mengelola sekolah, mulai dari jejang taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, dan sekolah lanjutan atas. Melalui program kegiatan pembinaan gerejawi dan pendidikan di sekolah-sekolah inilah kesadaran mengenai pentingnya air bersih dan upaya melestarikannya dapat dilakukan, baik dalam bentuk ibadah PA, pembinaan, katekisasi, maupun ceramah secara berkala. Peserta didik perlu diajak untuk mengenal sumber-sumber air bersih di sekitar tempat tinggal mereka dan hal apa yang perlu dilakukan untuk melestarikannya.
  4. Mengupayakan pola hidup sederhana dan hemat air. Warga jemaat diharapkan mampu benar-benar menjadi sadar untuk menghargai pentingnya air bersih sebagai penunjang kehidupan dan mahalnya biaya rehabilitasi terhadap kerusakan lingkungan.