GKJBrayatKinasih, Jakarta-Sejak RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR-Rl dan akan segera menjadi pembahasan dalam proses legislasi nasional, pada Rapat Paripurna DPR-RI, 16 Oktober 2018, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menerima ragam reaksi dari masyarakat, khususnya warga gereja.
Pada umumnya reaksi yang paling menyita perhatian adalah terkait pasal-pasal yang hendak mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi, sebagaimana terdapat pada Pasal 69 dan 70.
Menyikapi RUU tersebut MPH-PGI telah mengeluarkan pokok-pokok pikirannya. Salah satu point dalam pokok-pokok pikiran tersebut yaitu, PGI melihat perlunya penyempurnaan RUU ini sebelum diundangkan, terutama ketika menyangkut pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, seperti Sekolah Minggu dan Katekisasi, sebagaimana terdapat pada Pasal 69 dan Pasal 70.
Sejatinya, Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta serta mestinya tidak membutuhkan perijinan karena merupakan bentuk peribadahan yang melekat pada keberadaan gereja. Metode dan strategi peribadahan tersebut disesuaikan dengan tingkat usia peserta ibadah, yakni anak-anak dan remaja, berupa proses interaksi edukatif yang dalam banyak kesempatan menggunakan metode didaktik. Adapun penyelenggaraan Sekolah Minggu dan Katekisasi berbasis kurikulum bertujuan untuk mengarahkan sebuah proses mencapai tujuan yang terukur dalam pembinaan anak di gereja.
Olehnya, PGI berkeberatan bila Sekolah Minggu dan Katekisasi dimasukkan dalam RUU ini, karena penyelenggaraan Sekolah Minggu dan Katekisasi tersebut tidak memerlukan regulasi Negara.
Untuk melihat Pokok-pokok Pikiran PGI tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan secara lengkap, silahkan klik di bawah ini. (Sumber: pgi.or.id)
Pokok Pikiran PGI tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan