GKJbrayatkinasih, Jakarta- DPR RI saat ini sedang membahas Rancangan Undang-undang Pidana, di mana salah satu babnya mengatur soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama.
Namun sejumlah tokoh mengkhawatirkan RUU KUHP secara khusus delik Agama, akan mengancam kehidupan keagamaan dan toleransi.
Kekhawatiran tersebut disampaikan saat konfrensi pers di Gedung LBH Jakarta, Senin (19/3/2018). Mereka melihat, RUU KUHP dimana salah satu babnya mengatur tindak pidana terhadap seputar Agama dan kehidupan beragama.
Cakupan ketentuan pidana tersebut antara lain, Bagian Kesatu: Tindak Pidana terhadap Agama (Pasal 328 – Pasal 330) seperti; melakukan penghinaan agama, menyebarluaskan penghinaan agama melalui media tulisan, gambar, rekaman, dan melalui sarana teknologi informasi, melakukan tindak pidana yang sama dengan penghinaan agama belum lewat 2 tahun dari pemidanaan yang pertama, dan menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut sah di Indonesia.
Bagian Kedua: Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (Pasal 331-Pasal 333) seperti; mengganggu atau merintangi dengan kekerasan kegiatan ibadah atau pertemuan keagamaan, membuat gaduh di dekat kegiatan keagamaan, menghina orang atau pemimpin keagamaan yang menjalankan ibadah, menodai, merusak, atau membakar bangunan tempat ibadah.
Dua ketentuan yang paling bermasalah adalah penghinaan agama dan menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut sah di Indonesia.
Mengenai penghinaan agama, secara konseptual, penghinaan hanya bisa ditujukan kepada orang. Dan di dalam KUHP Belanda pasal 110, delik ini disebut delik subyektif, yang mensyaratkan ada subyek orang yang terhina. Sedangkan agama bukan subyek yang dapat merasa terhina.
Akan ada kesulitan dalam pembuktian, yaitu siapa yang berhak menentukan atau mewakili agama jika agama telah terhina. Pasal-pasal semacam ini bahkan berpotensi mengajarkan masyarakat untuk bersikap intoleran dan jauh dari pedoman Bhineka Tunggal Ika.
Resolusi penghinaan agama pernah diusulkan dalam sidang Majelis Umum PBB, atas usulan Organisasi Kerjasama Islam. Namun pada perkembangannya, usulan tersebut diubah menjadi resolusi tentang melawan intoleransi dan kebencian berdasarkan agama (Combating intolerance, negative stereotyping, stigmatization of, and discrimination, incitement to violence and violence against, persons based on religion or belief).
Perubahan ini disepakati secara konsensus oleh seluruh anggota PBB, dengan kesadaran bahwa yang dimaksud dengan penghinaan agama, sesungguhnya adalah perbuatan intoleransi, pelabelan negatif, diskriminasi, dan hasutan kekerasan terhadap orang lain berdasarkan agamanya.
Resolusi ini sangat sejalan dengan Pasal 20 ayat 2 serta Pasal 18 ayat 3 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah dijadikan hukum Indonesia dengan UU 12/2005.
Dengan demikian, rumusan pidana yang paling tepat dalam konteks ini seharusnya pidana terhadap perbuatan orang atau kelompok orang yang berupa hasutan kebencian, stigma atau pelabelan negatif, baik secara lisan atau tertulis, melalui media audio atau visual termasuk teknologi informasi, yang bermaksud mendorong kekerasan, diskriminasi, ataupun permusuhan terhadap orang atau kelompok orang lain berdasarkan agamanya. Hal tersebut sebetulnya sudah diatur di dalam RKUHP dalam bab terkait pidana terhadap golongan penduduk, yang rumusannya masih dapat diperbaiki.
Mengenai penghasutan agar meniadakan keyakinan terhadap “agama yang sah dianut di Indonesia” sangat problematis. Tidak ada satu pun yang mengatur tentang agama apa saja yang dianut secara sah di Indonesia. Ketentuan semacam ini juga bermakna menundukkan agama di bawah negara karena negara yang berhak mengatakan sah tidaknya agama.
Adapun bagian kedua tentang tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah sebenarnya relatif cukup baik apabila dimaksudkan sebagai hate crime. Apabila tidak dimaksudkan demikian maka pengaturan ini bersifat over criminalization karena tanpa memberikan atribusi pemimpin agama atau rumah ibadah sudah terdapat ketentuan yang sama.
Berdasarkan hal-hal tersebut, mereka mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan rencana pengesahan RUU KUHP, mendengarkan dan melibatkan elemen masyrakat secara setara tanpa diskriminasi dan tidak mebeda-bedakan asal usul keyakinan, agama, etnik, aliran politik dan lainnya sebagaimana dimandatkan Konstitusi. (Sumber: pgi.or.id)