Home » Warta Terkini » Seruan Moral Kebhinekaan Tokoh Lintas Agama, Aktivis, dan Akademisi

Seruan Moral Kebhinekaan Tokoh Lintas Agama, Aktivis, dan Akademisi

GKJbrayatkinasih, Jakarta- Belakangan ini rajutan kebhinekaan Indonesia berada dalam gangguan serius. Berbagai kasus kekerasan bernuansa agama yang marak pada awal tahun ini di berbagai daerah dalam bentuk serangan fisik terhadap tokoh-tokoh berbagai agama dan persekusi terhadap minoritas keagamaan, dan banyak dimensi lain dari kekerasan yang terjadi, menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kebhinekaan. Ikatan kebangsaan yang dibangun oleh para pendiri Negara-bangsa sedang dalam pertaruhan.

Republik Indonesia sejak kelahirannya dirancang oleh para pendirinya, para pendahulu kita, untuk menjadi negara pluralis, negara bhinneka yang inklusif lagi toleran, negara “satu untuk semua, semua untuk satu”, negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Oleh karena itu menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan agar tetap menjadi warna dan nuansa Republik, merupakan kewajiban dan tanggung jawab kita semua sebagai pewaris Indonesia merdeka. Membiarkan intoleransi, diskriminasi, persekusi, dan segala ancaman atas kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagai salah satu ruh kebhinekaan nyata-nyata merupakan pengkhianatan atas amanat kebangsaan yang dimandatkan kepada kita sebagai penerus dan pengisi kemerdekaan Indonesia.

Perkembangan terkini di tengah-tengah Republik mestinya menggugah kita semua untuk mencurahkan perhatian lebih bagi upaya menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan sebagai jati diri kebangsaan Indonesia. Terkait hal itu, sejumlah tokoh lintas agama, aktivis dan akademisi menyampaikan 6 seruan moral kebhinnekaan di Jakarta, Selasa (20/2/2018).

Dalam seruannya mereka menegaskan, pertama,merawat, menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan Indonesia pada dasarnya merupakan kewajiban seluruh elemen bangsa dari berbagai latar belakang primordial berbasis suku/etnis, agama, ras, golongan dan daerah. Maka kita semua harus mengeluarkan segenap upaya yang efektif untuk mencegah dan menangani setiap ancaman atas kebhinekaan tersebut.

Kedua, pemerintahan negara sebagai pengelola berbagai sumber daya politik hukum dan keamanan harus mengambil tindakan yang tepat lagi professional dalam merespons setiap upaya untuk mengancam kebhinekaan dan memecah belah antar elemen bangsa yang bhineka.

Ketiga, Presiden Joko Widodo berulangkali menegaskan bahwa “tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia” dan “kebebasan beragama merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi”. Maka, standing position Presiden tersebut harus memberikan energi tambahan bagi setiap aparat pemerintahan di bawah kendali Presiden untuk menindak setiap ancaman atas kebhinekaan.

Keempat, kompetisi di setiap perhelatan politik, termasuk Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di 171 daerah pada tahun ini, juga Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden tahun depan, tidak boleh menggunakan cara-cara Machiavelis melalui politisasi agama, kampanye hitam, dan syiar kebencian berbasis sentimen SARA yang dapat mengancam kohesi sosial, kebhinekaan, dan integrasi nasional.

Kelima, setiap elemen masyarakat, khususnya yang memiliki peran di bidang pendidikan, baik di institusi-institusi pendidikan resmi maupun pendidikan kemasyarakatan juga pendidikan di tingkat keluarga, perlu mengambil peran lebih untuk menanamkan bahwa kebhinekaan merupakan ruh kebangsaan kita, sehingga setiap orang harus memiliki ‘cipta, rasa, dan karsa’ untuk berinteraksi secara damai dalam perbedaan dan keberagaman.

Keenam, para tokoh dan pemuka agama, sebagai simpul utama spiritualitas-keagamaan dalam dimensi transendental maupun sosial, memiliki peran sentral dalam merawat, menjaga, dan memperjuangkan kebhinekaan dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu mereka harus memastikan bahwa pendidikan dan pengajaran keagamaan efektif membentuk kepribadian bangsa dan mencegah segala upaya yang dapat memecah-belah antar elemen bangsa dengan menggunakan sentimen-sentimen keagamaan. (Sumber: pgi.or.id)