Home » Artikel » Keserakahan dan Korupsi

Keserakahan dan Korupsi

SUATU pagi di pojok alun-alun utara Yogya, saya berteduh di sebuah warung nasi karena hujan deras mulai mengguyur. Saat menghirup kopi yang baru saya pesan, tiba-tiba datang seorang ibu pedagang kue yang juga ikut berteduh.

Dengan wajah ‘ndeso’nya si ibu ini menawarkan dagangan kue dari keranjang besar yang digendongnya. “Jajanan mas..wonten lemper, lumpia..monggo,” katanya. Karena kasihan sayapun membeli dua buah lumpia dan melahapnya. Sambil mengunyah, dalam hati saya berkata, berat juga perjuangan hidup si ibu ini. Sayapun menawarinya minum teh dan makan, tapi.si ibu menolak, “Sampun mas, maturnuwun.”

Sejurus kemudian hujan mulai reda namun masih gerimis. Si ibu itupun berpamitan, “monggo mas kulo badhe mlampah rumiyen.” Saya berusaha mencegahnya, “Taksih gerimis bu..ditenggo rumiyen,” tapi si Ibu tetap saja mengangkat ‘bakul’ dagangan dan menggendongnya, “mboten menopo mas, wong padhos tedho,” jawab si ibu tersenyum sambil  berjalan menembus rintik hujan. Sayapun hanya bisa menatapnya berlalu, berjalan dengan gendongan ‘bakul’ yang pasti tak ringan. Sebuah perjuangan hidup, kata saya dalam hati.

Beberapa hari sebelumnya, saya bertemu seorang bapak tukang ‘cukur’ di pojok barat alun-alun yang sama. Si bapak sedang asik melayani ‘customer’ memangkas rambut di bawah pohon rindang. Sayapun tertarik mengabadikan momen itu. Si bapak sempat menoleh ketika saya mengambil telpon genggam dan mengoperasikan kamera. Sejenak ia memandang saya keheranan, lalu tersenyum dan meneruskan pekerjaannya. Tangannya begitu terampil memangkas rambut, tak ada kesedihan di wajahnya.

Bagi si bapak tukang ‘cukur’ dan ibu penjaja kue ini, roda kehidupan seolah terasa tak berputar. Bertahun-tahun (pastinya) mereka hidup dalam kesahajaan. Tapi mereka tak berputus harap, hidup mereka jalani dengan iklhas dan jujur, ‘nerimo ing pandhum’. Burung di udara saja Tuhan pelihara apalagi manusia, mungkin itu yang ada dalam benak mereka.

Kondisi kontras saya baca di beberapa media massa akhir-akhir ini. Sejumlah pejabat seperti bupati, walikota, gubernur, anggota DPR tersangkut kasus korupsi dengan nilai uang yang fantastis. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan mereka tersangka suap, gratifikasi dan merampas uang negara untuk memperkaya diri sendiri. Saya mengelus dada. Apakah mereka hidup kekurangan? Apakah mereka miskin? ya Jelas tidak, wong mereka itu pejabat. Gaji atau penghasilan mereka puluhan bahkan ratusan juta. Tapi mengapa mereka masih korupsi, mengapa mereka masih saja berani menerima suap?

Jawabnya adalah “karena mereka SERAKAH”. Mereka tak pernah puas dengan apa yang mereka miliki. Uang, harta benda, jabatan, kekuasaan sudah mereka punya, tapi mereka tak pernah puas. Keserakahan membuat mereka melakukan apapun untuk terus menambah apa yang ingin mereka punya. Mereka bahkan tidak takut dengan ancaman hukuman, merekapun seolah tidak punya rasa malu ketika tertangkap tangan, digelandang polisi atau petugas KPK dengan baju tahanan dan tangan diborgol.

Keserakahan akan menjebak kita. Saya punya seorang teman, dahulu seorang presenter cukup terkenal tapi kini merintis karir sebagai artis. Ia pernah bercerita, suatu ketika ia ingin mendapat penghasilan tambahan dengan berinvestasi di saham. Bulan-bulan pertama ia merasakan keuntungan, lalu iapun terus menambah jumlah uang yang diinvestasikan. Suatu saat saham yang ia beli harganya naik, dan sebenarnya sudah bisa menghasilkan keuntungan. Tapi teman saya ini tak puas, ia masih berharap harga saham akan terus melonjak dan keuntungannya berlipat-lipat.

Tak disangka, beberapa saat kemudian harga sahamnya justru anjlok sehingga di atas kertas ia merugi. Secara teori, teman saya seharusnya segera menjual saham itu agar tak rugi besar. Tapi teman saya bergeming. Ia masih saja berharap harga saham.akan naik, tetapi perhitungannya meleset. Harga sahamnya terus anjlok dan akhirnya ia menderita kerugian yang cukup besar.

Firman Tuhan jelas meminta kita agar menghindari keserakahan, bahkan disebut sajapun jangan (Efesus 5:3). Bagian lain Firman Tuhan menyebut orang serakah sama dengan penyembah berhala yang tidak akan mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah (Efesus 5:5).

Saya merasa mendapat hikmat dari kisah si ibu penjaja kue dan bapak tukang ‘cukur’, betapa hidup itu bukan ‘melulu’ soal uang, harta benda, jabatan, pangkat dan lain-lain. Jangan serakah! Cukupkankanlah dirimu dengan apa yang Tuhan beri.

Rasul Yohanes dalam Lukas 3:14 menjawab pertanyaan para prajurit tentang apa yang harus mereka lakukan agar hidup berkenan di hadapan Allah dengan berkata;  “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.”

Tuhan memang memberikan rejeki atau berkat yang berbeda-beda kepada setiap manusia. Tapi Kebahagiaan tak diukur dari apa yang kita punya. Kebahagiaan berasal dari dalam hati kita sendiri. Mari kita jalani hidup dengan ikhlas dan penuh rasa syukur.

Ada baiknya kita renungkan kembali Firman Tuhan dalam Ibrani 13:5: Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

 

Oleh: Soni
Simpatisan GKJ Brayat Kinasih