GKJbrayatkinasih, Jakarta- Human Rights Working Group –Indonesian menyambut baik berbagai terobosan kebijakan luar negeri Indonesia di bidang perdamaian dan kemanusiaan, merespon sejumlah krisis kemanusiaan di berbagai belahan dunia; utamanya krisis Yarusalem dan Rohingya. Indonesia tampil aktif sebagai aktor pendamai di kancah pergaualan internasional dan regional.
HRWG dalam siaran persnya yang dirilis pada 9 Januari 2018, menyatakan melalui berbagai upaya ini, pemerintah sedang berusaha menjawab kritik publik selama ini bahwa diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo masih terfokus pada kerjasama ekonomi.
Indonesia bisa menjadi harapan dunia, di tengah maraknya skeptisisme terhadap nilai bahkan kemunduran praktik demokrasi dan HAM di berbagai belahan dunia. Sayangnya, demokrasi dan HAM masih dipandang sebagai aset bagi diplomasi Indonesia, belum dijadikan sebagai nilai dan sikap dasar diplomasi Indonesia.
Disebutkan pula, berbagai inisitif pemerintah untuk aktif ambil bagian dari solusi berbagai persoalan kemanusiaan di berbagai belahan dunia, telah diperkuat dengan dibentuknya single agency dan Indonesian Aid guna peningkatan kerja sama Selatan-Selatan dan kerja sama teknis lainnya. Meski demikan, hal itu harus diikuti dengan kemampuan diplomasi berbasis HAM yang mumpuni. Semisal, bagaimana upaya aktif Menlu di Myanmar, seharusnya ditindaklanjuti oleh badan-badan HAM ASEAN; ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) untuk bekerjasama mendorong Pemerintah Myanmar membentuk tim investigasi independen, menangkap dan mengadili pelaku dan merehabilitasi korban pelanggaran HAM.
Peran serta aktif lembaga-lembaga HAM ini adalah untuk terus mensinergikan bagaimana kepentingan nasional dan regional, satu resep mumpuni yang perlu digarisbawahi dari pidato Menlu hari ini.
Bagi HRWG, upaya penyelarasan kepentingan nasional dan regional maupun internasional, harus didasarkan prinsip keadilan dan keadaban, yaitu dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Misalnya, pemerintah tidak cukup dengan membebaskan 14 warga Indonesia dari hukuman mati, namun, pemerintah juga harus aktif dalam mendorong penghapusan hukuman mati di dalam negeri dan di berbagai belahan dunia. Juga tidak berhenti pada solusi pemulangan 50.000 WNI yang terkena kasus hukum, melainkan pemerintah hadir memastikan hak-hak WNI dipenuhi sebelum pemulangan.
HRWG memandang bahwa keterlibatan Pemerintah Indonesia di tingkat internasional di bidang hak asasi manusia harus selaras dengan agenda perbaikan di dalam negeri, yaitu bagaimana perlindungan dan pemenuhan hak itu dapat dirasakan secara utuh bagi setiap warga negara. Hal ini berarti bahwa kebijakan luar negeri tersebut harus dapat diterjemahkan pada tataran praktis implementatif di semua komponen pemerintahan. Hal ini misalnya dalam pelaksanaan rekomendasi badan-badan PBB seperti UPR dan Komite Hak Buruh Migran yang telah diterima oleh pemerintah pada tahun 2017.
Dikeluarkannya rekomendasi-rekomendasi ini merupakan bentuk komiten pemerintah Indonesia dalam hak asasi manusia, sehingga penting untuk melanjutkan agenda tersebut secara menyeluruh di dalam negeri dengan melaksanakan rekomendasi-rekomendasi tersebut. Kebijakan luar negeri merupakan potret dari apa yang terjadi di dalam negeri, sehingga perbaikan HAM di dalam negeri merupakan sebuah keniscayaan bagi Pemerintah Indonesia untuk terus terlibat dalam kancah politik HAM internasional dan regional.
Dengan menjadikan HAM sebagai nilai dan sikap dasar diplomasi Indonesia, niscaya, Indonesia mampu melaksanakan amanat pembukaan UUD 1945; ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Mengingat, tantangan ke depan tidaklah mudah yaitu instabilitas politik dan keamanan di tingkat global serta potensi konflik di berbagai belahan dunia. (Sumber:pgi.or.id)