GKJbrayatkinasih, Jakarta- Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengungkapkan keprihatinan mendalam atas gejala meningkatnya aksi intoleransi dan paham radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa, sebagaimana hasil penelitian yang dirilis oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baru-baru ini.
Riset yang dilakukan 1 September hingga 7 Oktober dan melibatkan 264 guru dan 58 dosen pendidikan agama Islam yang tersebar di 34 propinsi itu menunjukan 43,88% dari 1.859 pelajar dan mahasiswa dikategorikan intoleran dan 6,56% terindikasi radikal.
Menurut Sekretaris Umum PGI Pdt Gomar Gultom, kondisi ini merupakan konsekwensi logis dari setidaknya tiga hal yang terjadi secara berbarengan. Pertama, sejak reformasi 1999, sadar atau tidak, masuarakat dan bangsa kita telah meminggirkan Pancasila. Akibatnya, mereka yang lahir sejak 1998 (atau berusia 3-4 tahun ketika itu) tidak pernah lagi mendapatkan pendidikan nilai-nilai Pancasila atau kebangsaan. Jumlah penduduk berusia ini ada sekitar 120 juta orang, dan mereka Tuna Pancasila. Artinya, angkatan muda kita yang berjumlah 120 juta itu tidak dipersiapkan untuk hidup bersama dalam kemajemukan karena ketiadaan ideologi kebangsaan.
Kedua, dalam realitas keseharian, mereka yang Tuna Pancasila ini hidup atau setidaknya menyaksikan kemiskinan dan ketidak-adilan yang menyesakkan dada. Ketiga, selama sepuluh tahun pemerintahan SBY, negara abai terhadap upaya-upaya kelompok radikal dan intoleran yang hendak menggoyah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Berbagai bentuk ujaran kebencian dibiarkan di berbagai tempat, termasuk di rumah-rumah ibadah. Bahkan beberapa buku pelajaran agama yang ada di sekolah-sekolah berisikan sikap permusuhan kepada sesuatu yang berbeda.
Terjadinya ketiga hal ini, nir-ideologi kebangsaan, kemiskinan/ketidakadilan, dan pembiaran oleh negara, membuat anak-anak muda kita, pelajar dan mahasiswa, mudah terprovokasi akan ideologi alternatif, semisal Khilafah. Apalagi di dalamnya ada janji-janji sorga.
Dalam kaitan inilah PGI menyambut baik langkah Presiden Jokowi dengan membentuk UKP PIP, yang diharapkan bisa mendorong semua elemen bangsa merevitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan kita. Pada saat sama, PGI juga menyambut upaya pemerintah membatasi dan membubarkan kelompok-kelompok yang anti ideologi Pancasila dan ingin mengubah dasar negara.
Menghadapi fenomena intoleransi dan radikalisme ini, lanjut Gomar, seluruh elemen bangsa harus menjadikannya sebagai proyek bersama: membendung radikalisme. Pemerintah harus memastikan bahwa ideologi bangsa atau konstitusi ditegakkan, apa pun resikonya. Penegakan hukum harus berjalan sebagaimana mestinya terhadap ujaran kebencian, aksi-aksi kekerasan dan intoleran.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus membenahi pendidikan dengan memasukkan nilai nilai kebangsaan dalam kurikulum pendidikan seraya segera menarik buku-buku yang di dalamnya terselip anasir-anasir radikalisme. Pengarusutamaan toleransi dan moderasi di tengah realitas kemajemukan Indonesia menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
Untuk ini dibutuhkan pelatihan khusus kepada guru-guru dan pengawas sekolah. Pemerintah lewat Mendikbud juga harus senantiasa mengawasi dan bila perlu menyeleksi berbagai bentuk ekstra kurikuler di sekolah dan kampus, yang ditengarai menjadi pintu masuk bagi paham-paham radikalisme.
Pemerintah juga harus lebih serius mengentaskan kemiskinan dan membenahi ketidakadilan. Kemiskinan dan ketidakadilan ini merupakan momentum dan menjadi lahan subur buat radikalisme.
“Sementara itu, masyarakat pun harus juga berbenah dengan beragama secara cerdas dan moderat. Pola beragama yang melulu membaca teks kitab suci secara tekstual harus diarahkan ke pendekatan kontekstual. Dengan demikian, umat dapat menjalankan nilai-nilai hakiki hidup beragama seperti kemanusiaan, keadilan, kejujuran dan kedamaian dalam kesehariannya di tengah masyarakat kita yang majemuk,” katanya. (Sumber:PGI.or.id)