GKJBrayatKinasih, Waingapu- Di sela-sela mengikuti Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Waingapu, Sumba beberapa pekan silam, Pak Pendeta Sundoyo bertemu dengan sejumlah warga setempat yang dulu pernah menimba ilmu di Yogya, dan bergereja di GKJ Brayat Kinasih. Jadilah pertemuan ini ajang reuni dadakan yang dipenuhi rasa rindu, haru dan sukacita. Berikut penuturan beliau.
Saat saya sampai di gedung MPL sambutan yang ramah dan arahan yang menuntun saya ke meja registrasi. Setelah menyerahkan dana untuk kontribusi peserta, segera setelah itu panitia menghantar saya ke rumah yang akan menampung saya selama satu minggu. Sudah saya ceritakan hal ini di tulisan saya yang sebelumnya. Bapak Oskar Umbu Tamu Ama mengunggah foto saya di halaman facebooknya. Beliau bercerita, setelah unggahan itu maka banyak komentar dan tanggapan. Ramai dan hiruk pikuk dunia virtual, kabar bahwa Pdt Sundoyo sedang ada di Sumba. Beberapa orang berusaha mencari saya di komplek persidangan, beberapa bertemu tanpa sengaja dan beberapa yang lain bertemu rutin kerena mereka panitia Sidang Raya XVII PGI.
Saat bertemu selalu berfoto dan nampak senyuman, histeria kecil mereka membuat haru biru hati saya. Saya tipe orang yang mudah meleleh, kadang harus mengapus air mata tipis yang mulai menggenang. Saat menulis inipun saya harus melakukan hal tersebut. Haru karena mereka ternyata mengingat perjumpaan beberapa tahun saat mereka di Yogya. Bahkan ada yang saat bertemu kemudian video call dengan teman yang lain. Komentar yang langsung muncul adalah : ‘Curang, kamu curang. Kenapa kamu lebih dulu bertemu dengan Pak Sun, curang’. Segera disusul dengan gelak tawa bersama.
Pertemuan-pertemuan lain terjadi, ada yang direncanaan, ada yang kebetulan dan ada juga yang datang ke gedung MPL untuk mengadu nasib bisa bertemu dengan saya. Syukurlah, saya memang mudah dikenali karena saya tidak pakai topi. Ada beberapa teman datang ke rumah Pak Guru untuk ngobrol bersama dengan saya. Saya sungguh terharu ketika tanpa sepengetahuan saya, mereka merencanakan pertemuan. Sudah ada tempat yang disiapkan, rumah adat dari bambu. Tuan dan nyonya rumahnya adalah Mr. Umbu Uman, saya sebut dengan Mr karena istrinya berasal dari Australia. Generasi-generasi awal anak-anak Sumba di Brayat Kinasih bahkan sebelum ada nama Brayat Kinasih.
Malam itu juga ada janjian dari keluarga Kak Yun yang harus menempuh perjalanan sepeda motor sejauh 3 jam perjalanan. Sedianya akan datang 4 orang dengan dua motor, tetapi sepeda motor yang dinaiki oleh bapak dari Kak Yun mengalami kerusakan di perjalanan sehingga harus dibawa dengan oto untuk kembali ke rumah. Akhirnya hanya ada Chiko’s Team yang bertemu di acara tersebut. Tuan dan nyonya rumah ternyata sudah menyiapkan pizza dan kopi Sumba. Kami bercengkerama, terbenam dalam kenangan yang membawa gelak tawa.
Tulisan ini terhenti dan saya lanjutkan setelah 1 minggu kerena satu dan lain hal, koper saya masih belum bisa saya bawa saat saya sampai di Yogya. Harus berususan dengan bagian lost and found dan baru hari Sabtu, 23 November saya membawa pulang koper yang berisi banyak cerita dan kenangan. Di koper yang sempat tertahan entah dimana ini, saya membawa oleh-oleh dari keluarga Bp Oskar Umbu Tamu Ama dan juga para alumni GKJ Brayat Kinasih. Satu stola yang akan menemani pelayanan sakramen menjadi simbol kesatuan hati, cinta kasih dan kenangan yang akan menembus batas waktu dan cerita hidup.
Perjumpaan dengan banyak alumni GKJ Brayat Kinasih -baik secara sendiri maupun bersama- menyemangati GKJ Brayat Kinasih untuk menghidupi tema : Berjalan bersama, menggandeng yang datang dan menemukan yang hilang. Para alumni yang kembali setelah menimba ilmu di Yogya, mereka menjadi orang-orang yang menjadi berkat di daerahnya. Banyak yang menjadi pegawai negeri, aktivis masyarakat dan para aktivis pelayan gereja. Apa yang mereka serap dan hidupi di Yogyakarta menjadi salah satu batu padas bangunan kehidupan mereka.
Mr Umbu Uman, menolong kita untuk memahami konteks yang berbeda di jaman tahun 2000 dan tahun 2019 an ini. Jaman dulu anak-anak Sumba kuliah ke Yogya dengan kondisi ekonomi yang sangat-sangat terbatas. Mereka akan ada di yogya dan harus punya daya kreatif untuk bertahan hidup dan bisa makan. Dalam kesaksian bapak yang beberapa kali masuk TV lewat acara Bolang dan sejenis acara aventure lain menjelaskan bahwa keterlibatan mereka dalam hidup bergereja menjadi berkat untuk bertahan hidup. Karena pelayanan dan aktifitas gereja menghadirkan makan dan itu berkat yang sunggu nyata.
Generasi yang sekarang relatif lebih mapan dan mampu untuk hidup karena topangan ekonomi orang tau. Kebutuhan makan tidak lagi menjadi fokus utama. Ruang relasi yang hangat sebagai keluarga kedua menjadi kebutuhan. Hadir dan terlibat dalam pelayanan menjadi kesempatan anak-anak muda mengaktualisasikan diri. Semoga kalian semua yang pernah bergerja di GKJ Brayat Kinasih dapat sukses menjadi anak-anak Tuhan dimanapun kalian berada. Dan semoga GKJ Brayat Kinasih dapat senantiasa menghadirkan rumah kedua bagi siapapun yang sedang studi di Yogyakarta. Tuhan Yesus memberkati.