Home » Artikel » Ramah Terhadap Sesama ala Paulus dan Yulius: Sebuah Pembacaan Dialogis Seorang Muslim

Ramah Terhadap Sesama ala Paulus dan Yulius: Sebuah Pembacaan Dialogis Seorang Muslim

Sebagian besar pembaca kisah dalam Alkitab, mungkin tidak asing dengan kisah Paulus yang termaktub dalam Kisah Para Rasul pasal 27 yang berisi tentang pelayaran Paulus ke Roma, dinamika kapal yang kandas serta perjumpaannya dengan seorang Perwira bernama Yulius. Seperti umum diketahui, bagaimana Paulus melakukan banyak kebaikan—misalnya di dalam penjara hingga ketika memberi nasihat-nasihat di atas kapal di tengah pelayarannya menuju Roma.

Keramahan seorang Yulius menyambut serta memperlakukan Paulus. Dari sini terlihat bahwa keramahan yang ditunjukkan oleh Yulius tidak memandang status, kelas sosial serta sekat perbedaan lainnya yang berpotensi menghalanginya untuk ramah terhadap orang lain. Pada pasal 27 ini, Tuhan tidak hanya memberi penyertaan kepada Paulus, namun juga turut menyertai dan menggerakkan hati Yulius untuk dapat terbuka menerima baik Paulus.

Ramah Tamah Sebagai Jembatan Dialog

Ketika Paulus yang saat itu bertastus sebagai seorang tahanan. Dia mendapat pelayanan yang begitu ramah dari seorang perwira yang notabene dilatih dengan didikan yang ‘keras’. Pada bagian ini, keramahan yang ditunjukkan oleh seorang perwira ketika menyambut sang tahanan bernama Paulus menjadi satu catatan penting untuk melihat bagaimana sambutan hangat yang didapat oleh Paulus. Terlepas dari ikatan ke-Romawi-an yang kebetulan dimiliki
oleh Paulus dan Yulius.

Di satu sisi, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana Paulus sebagai pelanjut risalah tentang ajaran-ajaran Yesus mendapat karunia dari Allah ketika kebaikan serta keramah-tamahan yang didapat Paulus adalah hasil atau buah dari kebaikan yang pernah dia usahakan, khususnya ketika berada di dalam penjara hingga ketika berada di kapal bersama tahanan-tahanan yang lain.

Satu hal yang juga menarik untuk diperhatikan, ketika sekat antara Paulus dan Yulius menjadi hilang ketika keduanya saling berinteraksi meski dengan status yang tidak sama. Tembok yang sedari dulu menghalangi perjumpaan-perjumpaan itu menjadi roboh dan digantikan menjadi jembatan.

Dewasa ini, ketika orang-orang sibuk membangun tembok. Kita justru butuh lebih banyak jembatan, dan bukan tembok yang notabene menjadi pemisah yang berdinding tebal nan tinggi. Jembatan yang membantu banyak orang bisa menyeberang ke sisi ‘yang lain’—sang liyan.

Dengan berlaku ramah, pada saat yang sama kita membangun jembatan penghubung antara diri kita dan orang di luar diri kita—yang kita anggap sebagai orang lain yang berbeda dengan kita. Selain itu, berlaku ramah menjadi sarana melampaui toleransi menuju ke arah dialog yang konstruktif satu dengan yang lainnya.

Dengan dialog, semua perbedaan dapat dipahami—tidak sekadar diketahui. Lebih lanjut, dialog menjadi kunci peradaban antar agama untuk membangun harmoni di tengah dunia yang dianugerahkan Tuhan Sang Pencipta berbeda-beda. Gereja sebagai pewarta serta saluran kasih terus bergulat di tengah dunia yang masih dipenuhi dengan ancaman kekerasan dimana-mana hingga yang mengatasnamakan agama.

Sebuah Titik Temu

Keramahan adalah pengejawantahan dari prinsip kasih yang menjadi prinsip atau ajaran yang pernah Yesus dan Nabi Muhammad SAW ajarkan kepada semua umat manusia yang juga tertuang dalam semua tradisi agama serta spiritual. Selanjutnya, prinsip atau ajaran tentang mengasihi Allah (hablu min al-Allah) dan mengasihi sesama (habl min an-naas) menjadi titik temu (kalimatun sawa—meminjam istilah Al-Qur’an) Kristen dan Islam.

Yesus sudah mengajarkan kedua ajaran fundamental tersebut dalam hukum terutama yang tertuang dalam ketiga Injil Sinoptik; Matius 22:37-40, Markus 12:28-34, dan Lukas 10:25-28. Nabi Muhammad pun juga mengajarkannya sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an pada QS. Ali-Imran (3): 31 dan Al-Baqarah (2): 177. Hal ini yang perlu untuk digarisbawahi bersama—meski Kristen dan Islam memiliki perbedaan-perbedaan, namun juga memiliki
persamaan-persamaan. “Semakin berbeda kita, semakin jelas persamaan kita”, kata Gus Dur.

Keramahan selanjutnya menjadi hal begitu agung dan juga banyak sekali diajarkan dari berbagai tradisi. Dalam Islam misalnya, Nabi Muhammad SAW (sebagai utusan Allah pasca Yesus) juga memberi teladan—khususnya ketika memberi keramahan kepada orang Yahudi yang sudah lanjut usia yang setiap hari orang tua ini mengolok-olok Nabi Muhammad—bahkan dalam satu riwayat/cerita digambarkan bahwa Nabi Muhammad juga diludahi.

Sebagai seorang utusan Tuhan, Nabi Muhammad tidak mengganti mata dengan mata. Sebaliknya, setiap hari pula—Nabi Muhammad justru menyuapi orang Yahudi tersebut, bahkan sebelum menyuapinya—Nabi Muhammad terlebih dahulu mengunyahkan makanannya agar lembut untuk dimakan orang tua tersebut.

Singkat cerita, hingga Nabi Muhammad meninggal—terus berlaku demikian kepada orang tua Yahudi tersebut. Setelah kepergian Nabi Muhammad, sahabat Nabi kemudian mengambilalih tugas untuk menyuapi orang Yahudi tersebut, namun orang tua tersebut merasa ada keanehan ketika makanan yang saat itu merasakan keanehan karena makanan yang diterimanya terasa berbeda—tidak halus lagi dimakan. Orang tua Yahudi itu bertanya, “kemana orang yang selama ini menyuapiku?”. Sang sahabat Nabi berkata, “orang yang selama ini menyuapi kamu itu sudah meninggal, dia adalah orang yang setiap hari engkau olok-olok”. Dalam riwayat, orang tua Yahudi itu menangis dan menyatakan diri untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad.

Dari cerita di atas, keramahan kepada sesama menjadi kunci dari prinsip kasih yang menjadi obat dari segala kebencian serta luka yang manusia. Suatu kesempatan, saya sempat ditanya oleh seseorang, “di dalam Kristen itu sangat ditekankan prinsip kasih, kalau di Islam bagaimana?”. “Di Islam juga mengajarkan hal sama persis”, jawab saya singkat. Berarti, apa yang selama ini diributkan oleh orang-orang yang terganggu dengan perbedaan agama jika ternyata pesan yang terkandung di dalam intisati dari ajaran kitab suci kita adalah sama?

Yesus dan Nabi Muhammad SAW sudah meneladankan, saat kita semua pengikutnya melanjutnya. Wallahu ‘alam.

[Tulisan ini adalah bahan refleksi Renungan Tengah Minggu yang diadakan pada 26 Agustus
2020, GKJ Brayat Kinasih, Yogyakarta]

Oleh: Ahmad Shalahuddin Mansur*

*Penulis adalah mahasiswa pascasarjana fak. Teologi UKDW Yogyakarta
Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia
Co-founder Qur’anic Peace Study Club Yogyakarta