GKJbrayatkinasih, Jakarta- PGI dan lembaga keumatan meminta pemerintah menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mengingat dampaknya terhadap kehidupan umat beragama.
Selain itu, pemerintah juga diminta agar melibatkan lembaga-lembaga keagamaan dan berbagai elemen masyarakat dalam pembahasan RKUHP.
Hal ini muncul dalam pernyataan bersama yang disampaikan dalam jumpa pers di Grha Oikoumene, Jakarta, Senin (26/3).
RKUHP merupakan upaya pemerintah untuk menggantikan KUHP sekarang yang adalah warisan Belanda. Upaya ini sesungguhnya sudah berlangsung lama, namun selalu mengalami penundaan. Kini, RKUHP tersebut dibahas oleh pemerintah dan DPR dalam rangka pengesahannya. Dalam konteks ini, PGI dan lembaga-lembaga keumatan mengingatkan pemerintah dan DPR akan bahaya Bab tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama yang diatur dalam RKUHP.
Dalam pernyataan bersama itu ditegaskan, lembaga Keumatan mengapresiasi usaha pemerintah dalam merancang KUHP, namun demikian mengkhawatirkan beberapa hal yang berkaitan dengan Delik Agama yang Mengancam Kehidupan Keagamaan & Toleransi. Cakupan ketentuan pidana yang menjadi catatan kritis para pimpinan lembaga keumatan meliputi, Bagian Kesatu: Tindak Pidana terhadap Agama (Pasal 348 – Pasal 350) yaitu (1) melakukan penghinaan agama (2) menyebarluaskan penghinaan agama melalui media tulisan, gambar, rekaman, dan melalui sarana teknologi informasi (3) melakukan tindak pidana yang sama dengan penghinaan agama sebelum lewat 2 tahun dari pemidanaan yang pertama (4) menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut sah di Indonesia.
Bagian Kedua: Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (Pasal 351-Pasal 353) yaitu (1) Mengganggu atau merintangi dengan kekerasan kegiatan ibadah atau pertemuan keagamaan (2) Membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah (3) Menghina orang atau pemimpin keagamaan yang menjalankan ibadah (4) Menodai, merusak, atau membakar bangunan sarana ibadah.
Menurut mereka (pimpinan lembaga keumatan,red), rancangan pasal-pasal di atas masih bermasalah. Mengenai penghinaan agama, secara konseptual, penghinaan hanya bisa ditujukan kepada orang. Dan di dalam pasal 110 KUHP yang masih berlaku sampai saat ini, terdapat delik yang disebut delik subyektif, yang mensyaratkan ada subyek orang yang terhina. Sedangkan agama bukan subyek yang dapat merasa terhina. Jika delik penghinaan agama seperti dalam RKUHP dipertahankan, akan ada kesulitan dalam pembuktian, yaitu siapa yang berhak menentukan atau mewakili agama jika agama telah terhina. Pasal-pasal semacam ini bahkan berpotensi mengajarkan masyarakat untuk bersikap intoleran dan jauh dari pedoman Bhinneka Tunggal Ika.
Resolusi penghinaan agama (defamation of religion) pernah dibahas dalam sidang Majelis Umum PBB. Namun pada perkembangannya yang disepakati adalah resolusi tentang melawan intoleransi dan kebencian berdasarkan agama (Combating intolerance, negative stereotyping, stigmatization of, and discrimination, incitement to violence and violence against, persons based on religion or belief). Perubahan ini disepakati secara konsensus oleh seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia, dengan kesadaran bahwa yang dimaksud dengan penghinaan agama, sesungguhnya adalah perbuatan intoleransi, pelabelan negatif, diskriminasi, dan hasutan kekerasan terhadap orang lain berdasarkan agamanya.
Resolusi ini sangat sejalan dengan Pasal 20 ayat 2 serta Pasal 18 ayat 3 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah dijadikan hukum Indonesia dengan UU Nomor 12/2005.
Dengan demikian, rumusan pidana yang paling tepat dalam konteks ini seharusnya pidana terhadap perbuatan orang atau kelompok orang, berupa hasutan kebencian, stigma atau pelabelan negatif, baik secara lisan atau tertulis, melalui media audio atau visual termasuk teknologi informasi, yang bermaksud mendorong kekerasan, diskriminasi, atau permusuhan terhadap orang atau kelompok orang lain berdasarkan agamanya. Sebetulnya hal-hal tersebut sudah diatur di dalam RKUHP dalam bab terkait pidana terhadap golongan penduduk (pasal 289), yang rumusannya masih dapat diperbaiki.
Selanjutnya mengenai penghasutan agar meniadakan keyakinan terhadap “agama yang sah dianut di Iindonesia” (RKUHP Pasal 350) juga sangat problematis. Tidak ada satu UU pun yang menetapkan tentang agama apa saja yang dianut secara sah di Indonesia. Dan jika ketentuan semacam ini diadakan hal ini akan bermakna menundukkan agama di bawah negara, karena negara yang berhak mengatakan sah atau tidaknya suatu agama.
“Karena itu kami berpendapat bahwa pasal mengenai penghinaan agama tidak diperlukan. Adapun bagian tentang tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah sebenarnya relatif cukup baik, apabila dimaksudkan sebagai tindak pidana yang dilatar belakangi kebencian berdasarkan agama. Namun rumusan-rumusan pada pasal tentang kehidupan beragama jangan sampai mempersempit makna peribadatan yang seharusnya dapat dilakukan di rumah, di ruang publik, dan lain-lain serta menutup ruang dialog antarumat beragama,” demikian pernyataan bersama yang dibacakan oleh Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Pdt. Henrek Lokra. (Sumber: pgi.or.id)